Wednesday, November 26, 2008

It's not Brand anymore, It's Character!


TAHUKAH Anda, dari mana istilah opera sabun (soap opera) itu muncul? Ternyata istilah ini mulai ada sejak tahun 1930-an. Waktu itu Procter & Gamble (P&G) memproduksi dan mensponsori opera radio pertama. Nah, P&G ini sudah lama dikenal sebagai produsen sabun. Sabun Ivory misalnya, sudah dipasarkan P&G sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1890-an, P&G bahkan sudah memproduksi lebih dari 30 jenis sabun.

Jadi, ketika P&G mensponsori opera radio tadi, orang pun lantas menyebutnya dengan istilah “opera sabun.” Opera radio ini memang ditujukan untuk ibu-ibu rumah tangga, sehingga disiarkan pada siang hari. Ketika televisi mulai populer pada tahun 1950-an sampai 1960-an, opera sabun ini pun pindah ke media televisi dan tetap secara rutin disponsori merek-merek dari P&G seperti deterjen ”Tide”, shampo ”Prell”, pasta gigi ”Crest”, pelembut pakaian ”Drowny”, atau popok bayi ”Pampers”.

Dengan mempopulerkan merek-mereknya secara massal seperti ini, maka bisa dibilang bahwa P&G-lah yang menjadi pelopor dalam konsep Brand Management.

Brand Management ini merupakan bagian dari Marketing Trilogy selain Product Management dan Customer Management.

Product Management menjadi konsep pertama yang lahir. Ketika itu orang belum terlalu mengenal pentingnya pengelolaan merek karena pesaing masih sedikit. Product Management ini membahas antara lain tentang product lifecycle (PLC). Jadi, di sini intinya adalah bagaimana caranya sebuah perusahaan mengelola produknya sehingga tidak menurun penjualannya (decline).

Setelah itu, orang mulai bicara soal Brand Management. Pesaing mulai bermunculan, media massa juga mulai tumbuh dan berkembang. Karena itulah perusahaan memerlukan pengelolaan merek untuk menjadikan produknya lebih dikenal orang; seperti yang dilakukan P&G tadi.

Dan terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah Customer Management. Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk mengenali pelanggannya dengan lebih detil. Dengan demikian perusahaan juga bisa melakukan up-selling dan cross-selling kepada pelanggan sesuai dengan profil pelanggan tersebut.

Di sinilah mulai dikenal konsep customer-centric yang pada intinya produsen berupaya menyediakan produk-produk yang dibutuhkan pelanggan, bukan lagi menyodorkan produk kepada pelanggan dengan anggapan bahwa pelanggan akan membelinya begitu saja.

Itulah sekilas tentang apa yang disebut sebagai Marketing Trilogy.

Sekarang kembali ke soal Brand Management. Perusahaan melakukan langkah pengelolaan merek ini untuk meningkatkan value terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Merek inilah yang pada akhirnya akan menjadi ”pembeda” antara satu produk dengan produk lainnya di mata pelanggan sesuai value-nya.

Sekali lagi saya ulangi, value ini—atau lengkapnya customer value karena ditinjau dari sudut pandang pelanggan—definisinya adalah hal-hal yang diterima pelanggan ketika membeli produk dibandingkan apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut.

Manfaat yang diterima ini berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sementara pengeluaran pelanggan berupa harga produk tersebut dan pengeluaran-pengeluaran lain yang harus dikeluarkan pelanggan.

Jadi, kalau dibilang sebuah produk memiliki value tinggi, artinya manfaat yang diterima lebih besar dibanding pengeluaran yang harus dibayar pelanggan.

Bisa saja sejumlah produk manfaat fungsionalnya sama atau tidak jauh berbeda, namun karena manfaat emosional yang dirasakan pelanggan berbeda, maka sebuah produk harganya bisa jauh lebih mahal ketimbang yang lain. Nah, merek inilah yang bisa meningkatkan manfaat emosional kepada sebuah produk.

Namun, pada era New Wave Marketing, istilah yang lebih tepat bukan lagi brand atau merek, tapi Character.

Layaknya manusia, karakter ini pada dasarnya sama dan tetap, sesuai dengan DNA-nya. Seseorang bisa gonta-ganti baju, mengubah potongan rambut, atau bahkan melakukan operasi plastik, namun tetap saja DNA-nya tidak bisa berubah.

Begitu juga merek. “Baju” atau kemasannya bisa berganti-ganti, namun kita tetap akan bisa mengenali karakternya.

Lihat saja logo MTV. Tidak ada logo yang baku, selalu berubah-ubah. Namun, kita tetap bisa mengenali bahwa itu merupakan merek dari MTV.

Contoh lain adalah avatar kita yang ada di Yahoo! Messenger. Avatar ini bisa kita ganti setiap saat dengan gambar apa saja, namun tetap saja teman chatting akan mengenali kita.

Kalau sudah begini, mungkin tidak lagi diperlukan brand book atau brand manual. Biarkan kemasan merek kita berubah-ubah, yang penting karakternya tetap. Kedinamisan ini sekaligus menunjukkan semangat muda kita. “Muda” dan “dinamis” inilah yang menunjukkan paradigma horisontal di era New Wave Marketing.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --Hermawan Kartajaya

No comments: