Wednesday, December 24, 2008

MERRY CHRISTMAS 2008

May your holidays
be happy days,
filled with love
and laughter.
And may each day
bring joy your way
in the year
that follows after !

Monday, December 1, 2008

It's not Service anymore, It's Caring!


“Services dominate the expanding world economy as never before, and nothing stands still.” Itulah yang dikatakan kedua sahabat saya, almarhum Prof. Christopher Lovelock dan Prof. Jochen Wirtz. Mereka berdua menekankan pentingnya peranan servis dalam dunia bisnis saat ini.


Ya, Servis inilah yang merupakan elemen kedua dari Value Pemasaran untuk memenangkan heart share, selain merek dan proses. Yang dimaksud servis ini bukan sekadar layanan purna-jual (after-sales service), layanan pra-jual (before-sales service), atau layanan saat-jual (during-sales service). Servis juga bukan sekadar bicara soal nomor bebas pulsa bagi pelanggan, soal maintenance, atausoal customer service.


Bagi saya, Servis adalah value enhancer dari sebuah perusahaan. Servis adalah paradigma perusahaan untuk menciptakan sebuah value abadi bagi pelanggan melalui produk (“p” kecil) dan servis (“s” kecil). Jadi, Servis di sini mengacu kepada Servis dengan “S” besar, bukan “s” kecil. Inilah jawaban dari pertanyaan Peter Drucker, sang begawan manajemen, “What business are you really in?”. Satu-satunya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, “We are in Service Business!” Jadi, hanya ada satu kategori bisnis, yaitu Bisnis Servis.


Tidak peduli apakah perusahaan tersebut bergerak di bidang restoran, hotel, atau manufaktur sepatu, satu-satunya kategori untuk seluruh bisnis haruslah hanya Bisnis Servis. Untuk menjadi sebuah Service Company yang sejati, sebuah perusahaan harus secara terus-menerus meningkatkan produk dan servis (dengan “p” dan “s” kecil). Untuk menciptakan value yang abadi dan membangun hubungan baik dengan pelanggan, apa yang ditawarkan oleh perusahaan harus memberikan value yang konstan kepada pelanggan.


Lalu, untuk implementasinya sendiri dalam kegiatan operasional sehari-hari, dikenal apa yang disebut sebagai konsep Service Quality (ServQual). Konsep ini diperkenalkan oleh A. Parasuraman, Leonard L. Berry, dan Valarie A. Zeithaml untuk menganalisis sejauh mana tingkat layanan yang telah diberikan.


ServQual ini terdiri dari lima elemen, yaitu Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, dan Responsiveness yang biasa disingkat RATER. Dalam risetnya, mereka bertiga menemukan bahwa dimensi Reliability dianggap sebagai elemen yang paling penting oleh pelanggan, disusul Responsiveness, Assurance, Empathy, dan Tangible. Jika kelima elemen tersebut terpenuhi, maka pelanggan akan merasa puas. Inilah dasar dari konsep customer satisfaction.


Setelah konsep RATER ini, muncullah apa yang disebut sebagai Experience Economy yang diperkenalkan oleh Joseph Pine dan James Gilmore. Di sini perusahaan bukan sekadar melaksanakan excellent service, namun juga harus mampu memberikan pengalaman (stage experiences). Pada Experience Economy inilah pelanggan harus bisa merasakan sensasi, bukan sekadar merasa puas (customer sensation).


Dan pada tingkat Servis yang terakhir, perusahaan harus bisa melakukan transformasi kepada pelanggannya. Pelanggan dilayani secara personal, satu per satu. Karena itulah, perusahaan harus bisa memberikan solusi bagi pelanggannya, bukan sekadar kepuasan atau sensasi (customer solution). Itulah sedikit tentang servis dalam era Legacy Marketing.


Namun, dalam era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat bukan lagi servis, namun Caring. Bagi saya, servis itu sudah taken for granted, sudah jadi sesuatu yang memang seharusnya ada. Semua perusahaan sudah melakukannya. Semua pelanggan juga sudah mengharapkannya. Bukan sesuatu yang luar biasa lagi.


Caring is beyond service. Caring ini bukan sekadar servis yang mengandalkan RATER atau experience semata. Namun bagaimana pemasar bisa benar-benar memperhatikan pelanggan layaknya manusia. Jadi, kalau untuk servis kita belajar dari hospitality business, maka untuk Caring ini kita belajar dari hospital business. Inilah bedanya. Dalam hospitality industry, kalau kita tidak melakukan servis yang baik, akibat terjeleknya pelanggan akan merasa tidak puas dan mungkin saja menjadi tidak loyal kepada kita. Namun, dalam hospital industry, kalau kita tidak melakukan servis dengan baik, nyawa pasien-lah yang menjadi taruhannya.


Dengan cara pandang seperti ini, New Wave Marketers akan benar-benar memperhatikan pelanggannya dengan sepenuh hati. Tiap-tiap orang akan berupaya menjadi “dokter” dan “perawat” bagi pelanggannya. Dan yang tak kalah penting, perusahaan akan membangun dirinya menjadi sebuah service organisation layaknya sebuah rumah sakit. Dengan menerima Caring, pelanggan bukan hanya akan merasa puas, namun juga bisa menjadi “manusia baru” layaknya seorang pasien yang baru selesai menjalani perawatan.


-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --
Hermawan Kartajaya

Wednesday, November 26, 2008

It's not Brand anymore, It's Character!


TAHUKAH Anda, dari mana istilah opera sabun (soap opera) itu muncul? Ternyata istilah ini mulai ada sejak tahun 1930-an. Waktu itu Procter & Gamble (P&G) memproduksi dan mensponsori opera radio pertama. Nah, P&G ini sudah lama dikenal sebagai produsen sabun. Sabun Ivory misalnya, sudah dipasarkan P&G sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1890-an, P&G bahkan sudah memproduksi lebih dari 30 jenis sabun.

Jadi, ketika P&G mensponsori opera radio tadi, orang pun lantas menyebutnya dengan istilah “opera sabun.” Opera radio ini memang ditujukan untuk ibu-ibu rumah tangga, sehingga disiarkan pada siang hari. Ketika televisi mulai populer pada tahun 1950-an sampai 1960-an, opera sabun ini pun pindah ke media televisi dan tetap secara rutin disponsori merek-merek dari P&G seperti deterjen ”Tide”, shampo ”Prell”, pasta gigi ”Crest”, pelembut pakaian ”Drowny”, atau popok bayi ”Pampers”.

Dengan mempopulerkan merek-mereknya secara massal seperti ini, maka bisa dibilang bahwa P&G-lah yang menjadi pelopor dalam konsep Brand Management.

Brand Management ini merupakan bagian dari Marketing Trilogy selain Product Management dan Customer Management.

Product Management menjadi konsep pertama yang lahir. Ketika itu orang belum terlalu mengenal pentingnya pengelolaan merek karena pesaing masih sedikit. Product Management ini membahas antara lain tentang product lifecycle (PLC). Jadi, di sini intinya adalah bagaimana caranya sebuah perusahaan mengelola produknya sehingga tidak menurun penjualannya (decline).

Setelah itu, orang mulai bicara soal Brand Management. Pesaing mulai bermunculan, media massa juga mulai tumbuh dan berkembang. Karena itulah perusahaan memerlukan pengelolaan merek untuk menjadikan produknya lebih dikenal orang; seperti yang dilakukan P&G tadi.

Dan terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah Customer Management. Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk mengenali pelanggannya dengan lebih detil. Dengan demikian perusahaan juga bisa melakukan up-selling dan cross-selling kepada pelanggan sesuai dengan profil pelanggan tersebut.

Di sinilah mulai dikenal konsep customer-centric yang pada intinya produsen berupaya menyediakan produk-produk yang dibutuhkan pelanggan, bukan lagi menyodorkan produk kepada pelanggan dengan anggapan bahwa pelanggan akan membelinya begitu saja.

Itulah sekilas tentang apa yang disebut sebagai Marketing Trilogy.

Sekarang kembali ke soal Brand Management. Perusahaan melakukan langkah pengelolaan merek ini untuk meningkatkan value terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Merek inilah yang pada akhirnya akan menjadi ”pembeda” antara satu produk dengan produk lainnya di mata pelanggan sesuai value-nya.

Sekali lagi saya ulangi, value ini—atau lengkapnya customer value karena ditinjau dari sudut pandang pelanggan—definisinya adalah hal-hal yang diterima pelanggan ketika membeli produk dibandingkan apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut.

Manfaat yang diterima ini berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sementara pengeluaran pelanggan berupa harga produk tersebut dan pengeluaran-pengeluaran lain yang harus dikeluarkan pelanggan.

Jadi, kalau dibilang sebuah produk memiliki value tinggi, artinya manfaat yang diterima lebih besar dibanding pengeluaran yang harus dibayar pelanggan.

Bisa saja sejumlah produk manfaat fungsionalnya sama atau tidak jauh berbeda, namun karena manfaat emosional yang dirasakan pelanggan berbeda, maka sebuah produk harganya bisa jauh lebih mahal ketimbang yang lain. Nah, merek inilah yang bisa meningkatkan manfaat emosional kepada sebuah produk.

Namun, pada era New Wave Marketing, istilah yang lebih tepat bukan lagi brand atau merek, tapi Character.

Layaknya manusia, karakter ini pada dasarnya sama dan tetap, sesuai dengan DNA-nya. Seseorang bisa gonta-ganti baju, mengubah potongan rambut, atau bahkan melakukan operasi plastik, namun tetap saja DNA-nya tidak bisa berubah.

Begitu juga merek. “Baju” atau kemasannya bisa berganti-ganti, namun kita tetap akan bisa mengenali karakternya.

Lihat saja logo MTV. Tidak ada logo yang baku, selalu berubah-ubah. Namun, kita tetap bisa mengenali bahwa itu merupakan merek dari MTV.

Contoh lain adalah avatar kita yang ada di Yahoo! Messenger. Avatar ini bisa kita ganti setiap saat dengan gambar apa saja, namun tetap saja teman chatting akan mengenali kita.

Kalau sudah begini, mungkin tidak lagi diperlukan brand book atau brand manual. Biarkan kemasan merek kita berubah-ubah, yang penting karakternya tetap. Kedinamisan ini sekaligus menunjukkan semangat muda kita. “Muda” dan “dinamis” inilah yang menunjukkan paradigma horisontal di era New Wave Marketing.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --Hermawan Kartajaya

Tuesday, November 18, 2008

It's not Promotion anymore, It's Conversation!


INILAH elemen terakhir atau keempat dari Marketing-Mix, Promosi, atau yang dikenal juga sebagai Marketing Communications. Bagi saya, Promosi dan Saluran Distribusi masih bisa dikelompokkan lagi menjadi apa yang disebut “Access”, karena lewat kedua elemen Marketing-Mix inilah pelanggan bisa mengakses apa yang ditawarkan kita. Sementara kedua elemen 4P lainnya, Produk dan Harga, disebut “Offer” karena kedua elemen itulah yang sebenarnya merupakan penawaran kita ke pelanggan.


Promosi ini secara garis besar memiliki tiga tujuan, yaitu untuk menginformasikan, untuk membujuk, atau untuk mengingatkan pelanggan. Promosi bisa dipakai untuk menginformasikan produk baru, perubahan harga, dan sebagainya. Promosi juga bisa dipakai untuk membujuk pelanggan untuk membeli sekarang juga atau supaya pelanggan melakukan brand switching. Promosi sering juga digunakan untuk mempertahankan brand awareness, mengingatkan pelanggan di mana harus membeli produk, dan sebagainya.


Lalu, secara tradisional, promosi ini terdiri dari lima elemen yang disebut marketing communications-mix, yaitu advertising, public relations, personal selling, direct marketing, dan sales promotion. Belakangan, terutama setelah era Internet, marketing communications-mix ini menjadi bertambah banyak. Ada event marketing, Internet marketing, SMS marketing, multimedia marketing, dan lain-lain.


Karena cara dan media untuk berpromosi semakin beragam, tidak jarang terjadi ketidakkonsistenan pesan. Iklan di televisi bisa berbeda pesannya dengan apa yang disampaikan lewat penyelenggaraan event. Hal ini bisa menyebabkan kebingungan di mata pelanggan. Karena itulah, muncul kesadaran untuk mengintegrasikan semua bentuk promosi yang ada. Maka, lahirlah apa yang disebut Integrated Marketing Communications (IMC).


Dengan adanya IMC ini, maka pesan yang disampaikan oleh perusahaan bisa lebih konsisten dan relevan. Perusahaan yang pertama kali menerapkan konsep IMC ini salah satunya adalah Disney pada era 1950-1960-an. Disney melakukan sinergi terhadap semua aktivitas promosi lewat televisi, media cetak, film, merchandise, dan theme park-nya sehingga secara keseluruhan mampu memperkuat merek Disney.


Itulah sekilas tentang masalah Promosi atau Marketing Communications yang ada dalam era Legacy Marketing. Nah, dalam era New Wave Marketing, istilah yang lebih tepat bukan lagi promosi, namun Conversation. Promotion itu sifatnya searah, top-down, dan one-to-many. Semua itu sifatnya vertikal. Sementara Conversation itu sifatnya horisontal: dua arah, peer-to-peer, dan many-to-many.


Sebagian besar bentuk promosi yang dilakukan sekarang datangnya dari perusahaan dan ditujukan kepada pelanggan. Hampir tidak ada interaksi sama sekali antara perusahaan dan pelanggan ataupun antar pelanggan sendiri. “Kebenaran” yang ada hanya satu versi, yaitu versi perusahaan. Sementara Conversation berarti terjadi diskusi alias interaksi antara dua pihak yang kedudukannya setara. Di sini “kebenaran”-nya merupakan kebenaran bersama (common truth).

Dengan demikian, pelanggan akan lebih bisa menerima kebenaran bersama itu ketimbang kebenaran satu versi saja. Hal ini karena dalam Conversation pelanggan bisa meng-Clarify hal-hal yang diutarakan oleh perusahaan. Maka, dari sisi penerimaan pelanggan terhadap informasi yang disampaikan perusahaan, Conversation akan menjadi lebih dipercaya ketimbang promosi. Lalu, dari sisi anggaran sendiri, Conversation merupakan praktik low-budget high-impact marketing. Sementara promosi adalah high-budget high-impact marketing, dan kalau tidak hati-hati malah bisa jadi high-budget low-impact marketing.


Mengapa demikian? Promosi dalam era Legacy Marketing masih didominasi oleh media televisi yang biayanya mahal. Media televisi memang merupakan media yang bisa menjangkau masyarakat secara luas dalam waktu cepat. Namun, efektivitasnya sampai saat ini masih dipertanyakan. Seperti pernah saya bilang, langkah promosi seperti ini ibaratnya seorang Rambo, bukan sniper.


Karena itu, Anda harus bisa mengubah promosi menjadi Conversation. Pertama-tama Anda melakukan Communitization, dan pada akhirnya membiarkan terjadinya Conversation di dalam komunitas tersebut.Cara seperti ini lebih efisien dan efektif. Anda tidak perlu mengeluarkan biaya dan upaya yang terlalu besar, karena aktivitas selanjutnya dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Selain itu juga lebih efektif karena adanya “kebenaran bersama” tadi.


Hal ini bukan berarti bahwa iklan televisi tidak diperlukan lagi. Namun tentu dengan syarat bahwa Anda punya budget yang besar. Selain itu, iklan televisi Anda juga harus bisa memancing timbulnya Conversation lebih lanjut di antara pelanggan sehingga tidak berhenti sebatas ditonton orang semata.


-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --Hermawan Kartajaya

Wednesday, November 12, 2008

Ratifikasi Konvensi Antitembakau, Segera!


JAKARTA, RABU — Semakin meningkatkan konsumen rokok di Indonesia melahirkan rasa prihatin pada sejumlah kalangan masyarakat, terutama para pemerhati masalah kesehatan. Mereka lantas mendesak Pemerintah untuk segera meratifikasi kebijakan yang dikeluarkan WHO (Badan Kesehatan PBB) tentang pengurangan atau pembatasan rokok.


Menurut salah seorang peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonsia Abdillah Ahsan, hingga saat ini sudah ada 168 negara yang meratifikasi kerangka konvensi pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). "Namun Indonesia tidak termasuk di dalamnya karena belum mendapat pengesahan dari Pemerintah, padahal sudah berulangkali kami desak," kata Ahsan di sela acara Pembacaan Petisi Anti-Rokok di Jakarta, Rabu (12/11). Pembacaan petisi ini didukung 133 tokoh masyarakat dan publik figur.


Meskipun sudah ada peraturan daerah dan peraturan gubernur DKI Jakarta, yang mengatur tentang larangan merokok di areal publik, namun kenyataannya tak sesuai dengan yang ada di lapangan. "Sebab dari data yang dikeluarkan oleh WHO pada 2008 menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara pengguna rokok terbesar ketiga setelah China dan India," lanjutnya.


Sedangkan berdasarkan data yang dimiliki Ahsan, sebanyak 400 ribu orang per tahun di Indonesia meninggal dunia akibat rokok, dan 60 juta lainnya tercemar karena asap rokok. "Untuk konsumsi di kalangan remaja meningkat 144 persen dari tahun 1995, sampai tahun 2004," jelasnya.


Karena itu, pihaknya akan terus mendesak Presiden dan anggota DPR untuk segera meratifikasi FCTC dan membuat UU yang mengatur pengendalian dampak tembakau karena sifatnya yang mendesak. "Walaupun Pemerintah Indonesia turut menyusun FCTC, namun sampai saat ini belum ikut meratifikasinya, padahal itu merupakan suatu kebutuhan yang mendesak," tutur Ahsan.


http://www.kompas.com/ / Rabu, 12 November 2008 14:26 WIB


Wednesday, October 29, 2008

It's not Positioning anymore, It's Clarifying!


Dalam Legacy Marketing, Positioning dilakukan setelah kita melakukan Segmentasi dan Targeting. Positioning ini maksudnya bukan peringkat produk itu di pasar. Masih ada yang keliru soal ini. Dikiranya kalau bicara soal positioning berarti bicara soal ada di posisi nomor berapa produk itu di pasar.



Bukan itu definisi positioning. Positioning adalah apa yang kita inginkan ada di benak konsumen ketika mereka mendengar brand kita. Positioning ini berkaitan dengan persepsi. Persepsi ini harus bisa unik sehingga pelanggan bisa langsung membedakan antara brand kita dan brand pesaing kita.



Misalnya saja Volvo, BMW, dan Mercedes-Benz. Ketiganya merupakan produk yang berada dalam satu kategori dan juga menyasar segmen pasar yang relatif sama. Namun, positioning-nya bisa berbeda. Kalau ingat Volvo kita ingat ”safety”, sementara BMW adalah ”the ultimate driving machine” dan Mercedes-Benz merupakan ”a symbol of luxury”. Itulah positioning dari ketiga brand mobil mewah tersebut.



Positioning inilah yang melekat di benak pelanggan. Karena itulah, jarang ada orang yang punya BMW terus menggunakan sopir misalnya, beda dengan orang yang punya Volvo dan Mercy. Pemilik BMW ingin merasakan sendiri sensasi mengendarai BMW. Juga, ketika seseorang merasa sudah mapan hidupnya, biasanya akan lebih memilih Mercy sebagai simbol status kehidupannya.



Bisa dilihat bahwa produk yang hampir sama bisa punya positioning yang berbeda. Lebih jauh, positioning ini sebenarnya merupakan strategi untuk membangun kredibilitas di mata pelanggan. Kalau sudah memiliki kredibilitas, pelanggan akan lebih mudah mengikuti dan membeli apa-apa yang kita tawarkan. Dengan adanya kredibilitas, pelanggan bisa merasakan “kehadiran” brand kita dalam benak mereka.



Profesor Yoram Wind dari Wharton University of Pennsylvania mendefinisikan positioning sebagai Reason for Being. Menurutnya, positioning adalah tentang mendefinisikan identitas dan kepribadian brand ke dalam benak pelanggan. Hal ini karena kita sudah ada dalam Era of Choices. Pelanggan sudah punya banyak pilihan. Karena itu, perusahaan tidak dapat lagi memaksa pelanggan untuk membeli produk mereka; perusahaan tidak lagi dapat mengelola pelanggan.



Dalam era seperti ini, perusahaan harus memiliki kredibilitas dalam benak pelanggan. Karena pelanggan tidak dapat dikelola, mereka harus dipimpin. Agar sukses dalam memimpin pelanggan, perusahaan harus memiliki kredibilitas. Jadi, positioning bukan hanya tentang membujuk dan menciptakan citra dalam benak pelanggan. Positioning adalah tentang mendapatkan kepercayaan pelanggan. Positioning adalah tentang pencarian kepercayaan. Tentang menciptakan suatu ’being’ dalam benak pelanggan dan memimpin mereka secara kredibel.



Itulah sebab mengapa saya menyebut positioning sebagai “being strategy”. Inilah raison d’être brand Anda. Kalau Kijang mengatakan bahwa positioning-nya adalah “mobil keluarga”, maka sesungguhnya ia sedang membangun kepercayaan kepada setiap pelanggannya bahwa Kijang memang betul-betul menjadi mobil keluarga. Kijang bisa memuat banyak orang (mulai dari ibu-bapak, nenek-kakek, anak-cucu, semua terangkut). Kijang juga bisa digunakan untuk berbagai keperluan: bisa untuk dipakai pergi ke kantor, mengantar anak-anak sekolah, dipakai ibu untuk berbelanja, atau dipakai oleh semua anggota keluarga saat mudik lebaran.



Namun, dalam era New Wave Marketing saat ini, yang harus dilakukan bukanlah melakukan Positioning lagi, tapi Clarifying. Jadi, kita bukan lagi melakukan positioning brand kita pada target market, namun melakukan Clarifying pada Confirmed-Community. Clarifying bermakna memperjelas sesuatu. Dengan melakukan klarifikasi, berarti kita memperjelas persona atau karakter kita kepada komunitas yang sudah kita confirm sebelumnya.



Dalam Clarifying ini, kita harus bisa menjawab, siapa diri kita yang sebenarnya, what is our color. Hal ini perlu dilakukan karena persepsi atau positioning tentang diri kita bisa terbentuk dari beragam pihak: dari perusahaan kita sendiri, dari pelanggan, dari media massa, dan bahkan dari pesaing kita.
Positioning yang ada dalam benak konsumen bisa berubah sepanjang perjalanan waktu karena adanya pengaruh dari berbagai pihak tadi, baik yang disengaja maupun tidak. Karena itu, bisa-bisa pelanggan punya persepsi yang kabur atau tidak jelas terhadap kita. Dengan melakukan Clarifying, kita memperjelas makna karakter kita kepada suatu komunitas. Setelah itu, klarifikasi ini akan berjalan di antara para anggota komunitas itu dengan sendirinya tanpa perlu melibatkan kita lagi.
Jadi, dalam era New Wave Marketing saat ini, bukan lagi masanya Positioning yang bersifat vertikal. Marketer harus bisa melakukan Clarifying yang sifatnya horisontal.

"It's Not Targeting Anymore, It's Confirming!"


DALAM legacy marketing, setelah melakukan segmentasi, langkah berikutnya adalah memilih segmen mana yang akan Anda layani. Inilah yang disebut targeting. Segmen yang Anda layani ini namanya target market. Target market ini bisa terdiri atas satu segmen, bisa juga beberapa segmen.


Mengapa kita perlu melakukan targeting? Ya, karena sumber daya kita yang terbatas. Kita harus mengalokasikan sumber daya kita tersebut secara tepat. Targeting adalah tentang bagaimana kita menempatkan dengan tepat perusahaan kita ke dalam segmen yang sudah dipilih. Karena itu, saya menyebutnya sebagai fitting strategy.


Ada empat kriteria yang biasa dipakai untuk menilai menarik-tidaknya sebuah segmen pasar untuk dijadikan target market. Kriteria itu, yaitu ukuran pasar, pertumbuhan pasar, situasi persaingan, dan keunggulan daya saing. Secara singkat, penjelasannya sebagai berikut. Ukuran pasar yang semakin besar menunjukkan jumlah konsumen yang semakin banyak juga. Hal ini tentu ini akan semakin menarik minat perusahaan untuk masuk ke pasar tersebut. Kemudian, walaupun ukurannya saat ini kecil, namun kalau pertumbuhan pasarnya terus meningkat, berarti prospek pasar tersebut di masa depan juga cukup cerah.


Perusahaan juga harus melihat situasi persaingan, apakah pemain di pasar tersebut masih sedikit atau sudah terlalu banyak. Kalau sudah terlalu banyak, tentu pasar tersebut jadi kurang menarik karena berarti perusahaan harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk masuk ke situ. Nah, kriteria yang terakhir yang sebenarnya paling penting, yaitu keunggulan daya saing. Ketiga kriteria sebelumnya bisa saja diabaikan kalau Anda benar-benar punya daya saing yang kuat.
Jadi, bisa saja target market Anda saat ini ukurannya masih kecil dan pertumbuhannya juga tidak terlalu pesat.


Namun, karena Anda benar-benar punya produk yang unggul, Anda yakin bahwa produk Anda akan diterima oleh pelanggan dan membuat pasar itu semakin membesar. Anda juga tidak perlu khawatir dengan para pemain lainnya karena Anda yakin bahwa mereka tidak dapat meniru keunggulan produk Anda itu.


Itulah penjelasan singkat tentang targeting dalam legacy marketing. Namun, dalam era new wave marketing saat ini, yang harus dilakukan bukanlah melakukan targeting, tapi confirming. Confirming ini sejalan dengan langkah awal dalam Strategi yang sudah kita lakukan sebelumnya, yaitu communitization. Setelah kita bisa mengidentifikasi sejumlah komunitas, kita akan meng-confirm ke komunitas mana kita akan bergabung (join). Dengan melakukan konfirmasi, berarti kita berupaya menguji kebenaran dari sesuatu. Kita berupaya menghilangkan semua keraguan yang ada dengan mencari fakta-fakta yang kuat.


Konfirmasi ini kita lakukan untuk menemukan apa yang disebut sebagai ”sweet spot.” Jadi, kita harus menemukan komunitas yang mampu memberikan manfaat kepada kita secara optimum. Sama seperti pada segmentasi vs communitization, pada confirming ini prosesnya juga berlangsung secara sejajar, bersifat horisontal. Beda dengan targeting yang lebih bersifat top-down alias vertikal.


Maksudnya, targeting dilakukan oleh perusahaan. Jadi, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, seseorang bisa menjadi target market sebuah perusahaan. Hal ini memang karena sedari awal, sejak proses segmentasi, orang tersebut tidak pernah menjadi subyek, hanya obyek semata.
Sementara itu, dalam confirming, kalau ada yang mau bergabung dengan suatu komunitas, entah itu individu atau perusahaan, komunitas tersebut punya dua pilihan, apakah mau meng-confirm atau meng-ignore-nya. Orang atau perusahaan ini tidak bisa berbuat apa-apa kalau di-ignore oleh komunitas tersebut.


Sebaliknya, kalau kita tergabung dalam suatu komunitas, kita juga bisa meng-confirm atau meng-ignore orang-orang yang mau bergabung dengan kita.
Ini menunjukkan bahwa sebuah komunitas tersebut sama powerful-nya dengan sebuah perusahaan. Semua pihak berdiri sejajar. Seth Godin dalam bukunya Permission Marketing sebenarnya sudah membahas secara prinsip pentingnya menempatkan pelanggan sebagai subyek, bukan lagi obyek. Bedanya, dalam Permission Marketing pelanggan masih dianggap sebagai individu, sementara pelanggan dalam Confirming adalah suatu komunitas. Juga, ketika Godin menulis Permission Marketing tersebut belum lahir Web 2.0 yang berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan dan peranan komunitas online.

Jadi, perlakukanlah pelanggan Anda sebagai subyek, sebagai manusia yang sama dengan Anda. Dalam era new wave marketing saat ini, bukan lagi masanya targeting yang bersifat vertikal. Marketer harus bisa melakukan confirming yang sifatnya horizontal

Saturday, October 25, 2008

Negosiasi, Kunci Sukses Toko Tionghoa


Siapapun yang sedang berbelanja pasti menginginkan barang tersebut diperoleh dengan harga yang murah, bahkan kalau bisa dengan harga serendah-rendahnya. Ada prinsip-prinsip negosiasi yang harus Anda kuasai untuk bisa mewujudkanya.


Prinsip-prinsip negosiasi yang diungkapkan oleh Istijanto Oei dalam peluncuran bukunya 'Rahasia Sukses Toko Tionghoa' dapat dipakai, mulai dari negosiasi pembelian rumah, mobil, hingga barang ketebelece di grosiran misalnya.


Pria berdarah Tionghoa ini mengatakan, prinsip pertama yang perlu diingat adalah semua hal bisa dinegosiasikan. Kemudian, jangan pernah langsung menjawab 'ya'.
"Sama seperti seorang wanita ketika ditembak pria, jangan langsung jawab 'ya'. Nilainya bisa turun. Pikirkan apakah sesuatu itu terbaik untuk Anda atau di tempat lain ada yang terbaik," ujar Istijanto. Pertimbangkan juga tawaran yang lebih baik ada di tempat lain.


Setelah bertemu dengan barang yang Anda cari, selalu lakukan percobaan menawar dengan penjualnya. Namun, jangan terburu-buru menawar harga. Tunjukkan terlebih dulu ketidaktertarikan pada benda yang Anda inginkan itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak ada pada dia hingga membuat penjual merasa tertekan. Istijanto mengatakan, prinsip ini merendahkan nilai barang penjual.


Kemudian, awali tawaran dengan bidikan kita tertinggi. Misalnya bila barang ditawarkan Rp 100.000, jangan malu menawar hingga Rp 30.000. "Jangan malu menawar gila-gilaan. Jangan mudah menyerah," tandas Istijanto.


Selalu pegang kendali hingga Anda menilai si penjual tak mau tuurn harga lagi karena harga itu adalah harga terendahnya. Ketika sudah ada harga kesepakatan, selalu minta lebih, misalnya minta bonus selain barang yang Anda beli.
Istijanto mengatakan, pada dasarnya dalam negosiasi, ada win-win solution antara pembeli dan penjual.


Thursday, October 23, 2008

Perda Pembatasan Rokok Disahkan DPRD Surabaya

Asap rokok tak lagi bebas bertebaran di Surabaya. Sebab, peraturan daerah (perda) tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan kawasan terbatas merokok (KTM) telah disahkan di DPRD Surabaya kemarin. Perda tersebut juga mencantumkan sanksi cukup berat bagi siapa pun yang melanggar KTR maupun KTM.


Pembahasan perda KTD dan KTM sebenarnya memakan waktu cukup lama, yakni sembilan bulan. Bahkan, masa kerja panitia khusus yang membahas raperda tersebut harus diperpanjang hingga empat kali. Ketua Pansus Raperda KTR dan KTM Retna Wangsa Bawana juga mengakui bahwa pihaknya sempat terbelit perdebatan alot saat membahas poin-poin krusial perda. "Ada yang berpendapat bahwa di daerah tertentu boleh merokok, ada yang tidak. Karena saling ngotot, prosesnya menjadi lama," katanya kemarin.


Menurut dia, perda tersebut bakal menciptakan perubahan luar biasa jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Minimal, keluhan masyarakat tentang gangguan asap rokok di tempat-tempat umum teratasi. Misalnya, di dalam angkutan atau gedung tertutup yang ber-AC. "Efektif atau tidaknya perda ini bergantung pemkot sebagai pelaksana. Apa mau dilaksanakan, atau hanya pajangan," ujarnya. Politikus Partai Damai Sejahtera itu menjelaskan, perda KTR diberlakukan di lima jenis lokasi. Yakni, sarana kesehatan, tempat belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Menurut Retna, lima kawasan itu adalah ruang publik yang akan sangat terganggu jika ada asap rokok.


Di kawasan tersebut, masyarakat dilarang melakukan aktivitas menjual, membuat, mempromosikan, dan menggunakan rokok. Tidak hanya itu, menyelenggarakan iklan rokok juga dilarang. "Karena sama saja menawarkan agar orang merokok. Pokoknya, di daerah itu sama sekali tidak boleh merokok," tuturnya.Lain halnya dengan kawasan terbatas merokok. Pria yang juga menjabat ketua Komisi A itu menerangkan, merokok tetap diizinkan di KTM selama ada ruang khusus yang disediakan. Misalnya, di gedung perkantoran maupun pasar. Ruang khusus disediakan pihak yang bertanggung jawab di lingkungan tersebut. "Kalau kantor ya kepala kantor, kalau dinas ya kepala dinas," tuturnya.


Bagaimana sanksi terhadap pelanggar perda? Sesuai pasal 11, masyarakat yang melanggar KTR bisa dikenai kurungan maksimal tiga bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Hanya, lanjut Retna, tindak pidana yang dimaksud bukan kejahatan, tapi pelanggaran.


Masuk Sosialisasi
Meski sudah disahkan, perda tersebut tidak dapat langsung diberlakukan. Sebelum menerapkan, pemkot diberi waktu delapan bulan untuk menyosialisasikan aturan-aturan itu kepada masyarakat. "Kalau tiba-tiba langsung diberlakukan, masyarakat bisa kaget," ucap Wakil Wali Kota Arif Afandi setelah sidang paripurna.Dalam waktu dekat pemkot juga akan menyusun peraturan wali kota untuk melaksanakan perda itu. Isinya penjelasan lebih detail tentang poin-poin perda.


Misalnya, daerah-daerah mana yang masuk kategori KTR maupun KTM.Untuk penindakan, Wawali menjelaskan bahwa wewenang tersebut diserahkan ke Satpol PP. Menurut dia, Satpol PP adalah penyidik pegawai negeri sipil yang bertugas menegakkan perda. Jika ada yang tertangkap, diserahkan ke pengadilan untuk dijatuhi sanksi oleh hakim. "Yang memutuskan hukuman tetap hakim," katanya.


http://www.jawapos.com/ - 23 Oktober 2008

From Segmentation to Communitization


DALAM Legacy Marketing, langkah pertama untuk menyusun strategi marketing adalah dengan melakukan segmentasi. Segmentasi ini bisa dilakukan berdasarkan sejumlah variabel, yang umum digunakan adalah variabel geografis, demografis, psikografis, dan perilaku (behavioral).


Secara geografis misalnya, bisa dibuat segmen pasar perkotaan dan pedesaan. Kemudian secara demografis, bisa dibuat segmen pelanggan berusia di bawah 20 tahun dan di atas 20 tahun. Secara psikografis, ada segmen yang suka produk-produk bermerek walaupun mahal, ada juga segmen yang lebih suka produk-produk yang harganya terjangkau. Kemudian, secara perilaku (behavioral), ada pelanggan yang membeli produk secara rutin, ada yang sesekali saja tergantung kebutuhan.


Itulah sedikit bahasan tentang segmentasi yang mungkin sudah sangat Anda pahami. Namun, dalam era New Wave Marketing saat ini, yang harus dilakukan bukanlah melakukan segmentasi, tapi Communitization. Ya, New Wave Marketer harus bisa membentuk suatu komunitas atau memanfaatkan komunitas yang ada.


Definisi komunitas sendiri ada macam-macam. Namun, definisi yang paling tepat adalah definisi yang terdapat dalam buku The Cluetrain Manifesto. Di dalam buku ini, komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya.
Jadi, dalam komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Beda dengan segmentasi yang anggota segmennya bisa tidak peduli satu sama lain. Inilah salah satu perbedaan yang jelas antara segmentasi dengan Communitization. Kemudian, dalam segmentasi, pembentukannya dilakukan oleh perusahaan sehingga sifatnya vertikal. Prosesnya berlangsung dari atas ke bawah. Pelanggan dan calon pelanggan dianggap berada di bawah produsen.

Sementara dalam Communitization, pembentukannya dilakukan oleh orang per orang yang setara sehingga bersifat horisontal. Juga, kalau dalam Segmentasi yang terjadi adalah high-budget high-impact marketing, maka dalam Communitization yang terjadi adalah low-budget high-impact marketing.


Mengapa demikian? Ya karena sifat segmentasi yang inisiatifnya dari perusahaan. Untuk melakukan segmentasi biasanya sebuah perusahaan harus melakukan riset pasar terlebih dahulu atau membeli laporan riset pasar yang harganya mahal. Segmentasi ini juga tidak ada yang ”merawat”, karena memang antar anggota segmen tersebut bisa tidak kenal satu sama lain, dan kita juga tidak peduli akan hal ini. Sementara dalam Communitization, perusahaan tidak harus melakukan riset pasar. Cukup mengidentifikasi komunitas yang sudah ada. Kalau ternyata tidak menemukan komunitas yang dianggap cocok, maka barulah perusahaan tersebut mempelopori berdirinya suatu komunitas.


Setelah komunitas ini terbentuk, perusahaan tersebut sebenarnya sudah bisa ”lepas tangan”, karena komunitas tersebut akan ”dirawat” sendiri oleh para anggota komunitasnya. Maka, kalau komunitas sudah terbentuk, praktis perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya apapun.
Komunitas ini bisa berbentuk komunitas online, komunitas offline, atau hibrida dari keduanya, seperti yang sudah saya jelaskan juga dalam tulisan saya yang berjudul ”A Tale of Three Communities: Harley-Davidson, Facebook and HTML”. Dalam komunitas online, karena memang berbasis Internet, orang-orang yang ada di komunitas tersebut bisa lintas demografis, lintas geografis, lintas agama, dan seterusnya. Yang penting, sekali lagi, adalah adanya kesamaan interest di antara para anggota komunitas tersebut.


Contohnya di Facebook. Kalau Anda punya account di Facebook, pasti Anda sering mendapat undangan (invitation) untuk bergabung (join) dengan suatu komunitas (group). Kalau komunitas itu kita anggap sesuai dengan interest kita, pastilah kita akan langsung bergabung, walaupun kita mungkin belum mengenal orang yang mengundang kita. Setelah bergabung, barulah kita bisa saling mengenal anggota komunitas tersebut dan bisa cepat akrab karena memang punya interest yang sama.


Jangan salah, yang namanya komunitas ini sebenarnya bukan barang baru. Sudah sejak dulu kita berkomunitas secara offline. Kalau Anda bapak-bapak, mungkin sering bermain kartu sambil ngobrol-ngobrol dengan tetangga Anda di pos ronda pada malam hari. Ini komunitas. Kalau Anda ibu-ibu, pastilah Anda sering mengikuti arisan atau pengajian. Ini juga komunitas.
Jadi, dalam era New Wave Marketing saat ini, bukan lagi masanya segmentasi yang bersifat vertikal. Marketer harus bisa melakukan Communitization yang sifatnya horisontal.

Wednesday, October 22, 2008

How to Win Customer`s Mind Share??


Jika tidak bisa jadi yang pertama, Anda bisa membuat kategori baru sehingga secara otomatis Anda jadi yang pertama. Dan, jangan dilupakan, Anda harus berani mengklaim dan mengkomunikasikan posisi Anda sebagai yang pertama tadi.

Nah, perang menguasai benak orang alias konsumen (mind share) inilah yang menjadi isu utama dalam bagian Strategi dari marketing. Dalam riset pemasaran, Strategi ini berhubungan dengan aspek Cognitive dari konsumen. Cognitive ini maksudnya adalah persepsi konsumen terhadap suatu brand. Karena itu, mind share dari suatu brand diukur berdasarkan hal-hal seperti brand awareness, brand associations, dan brand image. Dari sinilah nanti dihasilkan apa yang dikenal sebagai Top of Mind (TOM).

Strategi merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam perumusan strategic marketing. Karena pentingnya peran Strategi, perumusannya dilakukan pada level strategic business unit (SBU) dari sebuah perusahaan. Strategi ini dalam Legacy Marketing terdiri dari tiga elemen, yaitu Segmentasi, Targeting, dan Positioning (STP). Segmentasi disebut sebagai mapping strategy, karena di sini kita melakukan pemetaan pasar. Pemetaan ini merupakan proses yang kreatif, karena pasarnya sebenarnya sama, namun cara pandang kita terhadap pasar itulah yang membedakan kita dengan pesaing.

Anggaplah ruangan kantor Anda sebagai pasar. Nah, segmentasi pasarnya bisa bermacam-macam: bisa dari jenis kelamin, dari segi umur, dari yang punya laptop atau tidak, dari segi kebiasaan makan siang di luar kantor atau membawa makanan sendiri dari rumah, dan sebagainya. Bisa Anda lihat walaupun pasarnya tetap, namun cara segmentasinya bisa macam-macam. Setelah pasar dipetakan dan disegmentasi menjadi kelompok-kelompok pelanggan potensial dengan karakteristik dan perilaku serupa, perusahaan perlu memilih segmen mana yang mau dimasukinya. Inilah yang disebut Targeting.


Targeting didefinisikan sebagai cara mengalokasikan sumber daya perusahaan secara efektif, yaitu dengan memilih target market yang tepat. Targeting disebut sebagai fitting strategy karena kita menyamakan (fitting) sumber daya perusahaan Anda dengan kebutuhan target pasar yang dipilih. Dan unsur terakhir dari Strategy adalah Positioning. Setelah memetakan pasar, dan menyesuaikan sumber daya perusahaan Anda dengan segmen yang dipilih, maka kemudian Anda harus memiliki posisi yang kredibel dalam benak mereka.


Positioning ini harus tepat memposisikan merek Anda di dalam benak pelanggan, yaitu apa sesungguhnya yang Anda tawarkan. Positioning sangat penting karena merupakan raison d’être merek Anda. Jadi, kalau Anda sudah berhasil merumuskan STP yang tepat, Anda akan bisa memenangkan perang di mind share. Bisa saja Anda saat ini kalah di market share, namun jika mind share dan apalagi heart share Anda masih kuat, peluang Anda untuk meraih market share yang hilang terbuka lebar.


Pada era New Wave Marketing, elemen-elemen dari Strategy yang dalam Legacy Marketing adalah Segmentasi, Targeting, dan Positioning, berubah menjadi Communitization, Confirming, dan Clarification. Walaupun prinsipnya mirip, namun ada perbedaan definisi dalam istilah-istilah tersebut.


diambil dari http://www.kompas.com/%20new wave marketing

Saturday, October 18, 2008

Iklan Sampoerna Mild - pilihangua.com

UP TO YOU

Jangan Merokok Dekat Anak Usia Dini



Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Jawa Timur, Dra. Siti Fatimah Soenaryo M.Pd mengimbau, agar para perokok tidak merokok di dekat anak yang masih berusia dini.


"Mohon dengan segala kerendahan hati, orang tua yang merokok agar tidak merokok di dekat anak usia dini karena, anak itu masih sangat rentan," katanya di Surabaya, Jumat (26/9).


Siti perlu mengemukakan hal itu demi membentengi anak-anak sebagai generasi penerus menjadi generasi yang sehat. Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu menambahkan bahwa menghentikan kebiasaan memang tidak mudah. Namun, hal itu perlu dimulai dengan gerakan yang skalanya mungkin kecil."Kalau saling menunggu, maka akan menjadi persoalan tersendiri. Ini di satu sis memang pahit, tapi di sisi kalau gerakan ini berhasil akan menjadi manis.


Mungkin kita butuh waktu 25 tahun agar perokok ini peduli pada anak dan orang lain," katanya.Ia mengemukakan, kalau dia menemukan ada orangtua merokok yang memangku anak, maka akan langsung diingatkan dengan cara yang baik dan menggunakan cara yang sangat sopan."Alhamdulillah tanggapannya selalu positif. Tidak ada yang menanggapi negatif. Bahkan saya banyak berkenalan dengan orang gara-gara asap rokok itu," katanya.


Ia memiliki niat untuk membuat stiker yang akan ditempelkan di lokasi-lokasi strategis dengan tulisan, "Terima kasih Anda tidak merokok di dekat anak usia dini".


diambil dari Kompas.com 26 September 2008

Berpikir Positif itu ASYIK, walaupun berat dilakukan


Sebuah kisah nyata...
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu :
"Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan" Ibu itu kemudian menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi". Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.
"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :

Saya BERSYUKUR :

1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain
2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
4. Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi
5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat
9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup
10. Untuk dst...



diambil dari milis sebelah...

Happily Ever After or DIE YOUNG?? (2)

LARANG TOTAL IKLAN, PROMOSI DAN SPONSOR ROKOK

NGGAK ADA LOE, NGGAK RAME... (keren nih iklan)

MASIH BANYAK CELAH BUAT ISEP ROKOK...


ENJOY YOUR MISERY...
Iklan anti rokok nih ternyata ga kalah keren dari aslinya..salut dua jempol buat yang bikin..

Thursday, October 16, 2008

Happily Ever After or DIE YOUNG?? (1)

WORLD 911 KILLER

ERASER

BE FREE

CIGARETTE SHOTGUN
MARAILORO - I`VE GOT CANCER

DEATHLY ASHES


DEATH COMES IN TOO MANY FACES



this ad dedicated to people that quit from their smoke habit, if you`d like to join, you`ve come to the right place...


Thursday, October 9, 2008

Experiential Connector - What`s That??


Selain mobile connector yang bersifat online, yang tidak kalah pentingnya adalah membangun intimacy lewat acara-acara offline. Inilah yang disebut experiential connector. Experiential Connector ini sendiri bisa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Event-based, Screen-based, dan Identity-based.


Event-based adalah jenis experiential connector yang paling banyak dipakai oleh para marketers saat ini. Sementara, Screen-based mencoba membangun pengalaman (experience) lewat media layar, baik itu berupa layar komputer, layar ponsel, layar bioskop, layar video game, atau layar lainnya.


Dalam buku Sisomo: The Future of Screen, Kevin Roberts, CEO Worldwide Saatchi & Saatchi, mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah terkepung oleh berbagai layar sehingga bisa dikatakan sekarang adalah The Screen Age. Berbagai layar ini menciptakan pengalaman unik bagi para pemirsanya (viewer). Jika dulu kita hanya mengenal layar televisi dan layar bioskop yang lebih bersifat komunal, sekarang kita mengenal layar komputer dan layar ponsel yang sifatnya lebih personal.

Lalu, jenis experiential connector ketiga, Identity-based, merupakan koneksi yang dibangun oleh marketer untuk memberikan identitas kepada merek atau perusahaannya lewat berbagai aktivitas pemasaran yang dilakukan. Bentuk identity-based ini sangat beragam. Bisa berupa event yang sudah merupakan signature program dari sebuah merek, misalnya saja program I Like Monday dari Hard Rock Café Jakarta atau Victoria’s Secret Fashion Show. Bisa juga berupa sponsorship seperti yang dilakukan Ferrari di lomba balap mobil Formula 1. Atau berbagai aksi nyeleneh dari Sir Richard Branson—misalnya saja ketika ia hampir telanjang bulat ketika meluncurkan Virgin Mobile di Times Square di New York—yang memberikan identitas yang unik kepada Virgin Group.


Bisa kita lihat, Experiential Connector lewat program-program offline ini lebih bisa membangun intimacy, yang mungkin agak sulit dibangun dalam dunia online (mobile connector) yang biasanya lebih bersifat excitement. Jadi, Experiential Connector inilah—selain Mobile Connector—yang pada dasarnya berfungsi sebagai penghubung (connector) antara berbagai elemen lainnya yang ada di lanskap New Wave.


dicuplik dari www.kompas.com/ new wave marketing

Saturday, October 4, 2008

YESUS nonton Sepak-bola

Yesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepak-bola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajakNya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dahulu. Jesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu giliran kesebelasan Protestan yang mencetak goal. Dan Jesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.

Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya: 'Saudara bersorak untuk pihak yang mana?''Saya?' jawab Yesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu. 'Oh, saya tidak bersorak bagi salah-satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.'Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus: 'Atheis!'


Sepulangnya, Yesus kami beritahu tentang situasi agama di dunia dewasa ini. 'Orang-orang beragama itu aneh, Tuhan,' kata kami. 'Mereka selalu mengira, bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.'Jesus mengangguk setuju, 'Itulah sebabnya


Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,' katanya. 'Orang lebih penting ketimbang agama. Manusia lebih penting ketimbang hari Sabat.''Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kataMu,' kata salah seorang di antara kami dengan was-was. 'Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.' 'Ya —dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,' kata Yesus sambil tersenyum kecewa.


~ Anthony de Mello SJ. Dari: Burung Berkicau

Tuesday, September 30, 2008

Laughter is Contagious

Good Health is Laughing Matter
Patch Adams adalah film drama komedi tahun 1998 yang disutradarai oleh Tom Shadyac dan berdasar kisah nyata dari Hunter "Patch" Adams.
Film ini sangat sukses di Amerika dan menjadi box office dengan pendapatan 2x biaya pembuatannya dan menjadi nominasi Academy Award untuk Best Music, Original Musical or Comedy Score

Patch Adams
Dia seorang dokter. Tetapi, dia tak pernah mengenakan jas putih berkalung stetoskop. Dia berbaju badut, mengenakan hidung palsu bundar merah, meloncat-loncat di antara pasien seperti seorang aktor komedian di atas panggung. Para pasien tertawa terbahak-bahak, merasa dunia menjadi lebih menyenangkan, dan mereka merasa lebih sehat karena dia. Nama aslinya Hunter Adams, tetapi dia lebih suka dipanggil Dokter Patch Adams.


Good Health is Laughing Matter
Inilah kisah tentang sebuah sosok unik yang hidup dalam alam nyata nun di Virginia, AS, sana. Patch Adams adalah seorang dokter yang percaya bahwa tugas dokter bukan hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga menyembuhkan manusia. Pendekatan kepada pasien bukan sebagai bagian dari warga rumah sakit yang diingat dengan nomor kamar saja, tetapi dengan menyebut nama, dengan sapaan lembut, dengan belaian, bahkan dengan humor. Puluhan tahun Dokter Adams mendirikan klinik gratis bagi mereka yang tak mampu dengan metode penyembuhan kemanusiaan sebuah pendekatan yang sangat ditentang lembaga medis konvensional. Untuk perkembangan institut yang didirikannya itulah, akhirnya Patch merelakan kisah hidupnya yang unik, dan menarik itu ditulis dalam sebuah buku berjudul Good Health is a Laughing Matter, yang kemudian dijadikan film ini.


The Beginning

Tentu saja, aktor Robin Williams, seorang aktor komedian terkemuka, sangat cocok memerankan tokoh nyata ini. Film ini dibuka dengan kisah Adams muda, yang ingin bunuh diri. Ia membatalkan niatnya dan secara sukarela masuk ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Alih-alih menjalani perawatan, Patch Adams malah mendapatkan berbagai pengalaman yang menimbulkan inspirasi pada dirinya. Empati! Dia kemudian memutuskan bergabung di Fakultas Kedokteran University of Virginia, dan menjadi salah satu mahasiswa terkemuka. Tetapi, yang membuatnya populer tentu saja bukan karena ia mudah mendapatkan angka tinggi tanpa pernah belajar, melainkan karena gairahnya yang luar biasa untuk menyembuhkan pasien dengan humor hingga ia harus mendobrak sistem fakultas dan rumah sakit yang rigid. Adams nyaris dipecat dari fakultas.

New Journey
Ia muncul sebagai seseorang yang penuh gairah, berpakaian terang benderang, dan dengan nafsu yang menggelegak untuk menyelamatkan dunia. Meski Patch Adams adalah sebuah kisah nyata berdasarkan kehidupan nyata seorang dokter tentu saja sutradara tak bisa melepaskan citra rasa Hollywood yang melodramatis. Adegan pengadilan Adams, yang teatrikal—dia berceramah hingga para hadirin terpesona—dan para pasien serta suster yang ikut mendukungnya (hingga penonton melelehkan air mata) tentu sebuah resep yang tak boleh ditinggalkan. Dan karena itu, film yang sesungguhnya menarik ini jatuh pada arena kecengengan. Untung saja, adegan akhir, saat Adams diwisuda, tidak diromantisasi. Ia menjadi sebuah adegan segar yang mengejutkan, yang menggelikan (bagi mereka yang menangkap humor itu dengan santai). Patch bersama rekannya telah membangun Gesundheit! Institute. Fasilitas kesehatan yang memiliki luas 147 hektar ini berada di Pocahontas County, West Virginia, Amerika Serikat.
Siapapun boleh datang kesini –anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang kaya (yang kekurangan rasa cinta di rumah sakit lainnya), para korban perang yang diabaikan oleh negara- dan kabar baiknya tidak dipungut bayaran alias gratis.
Gratis ? Ya, gratis. Patch ingin menunjukkan bahwa dengan tidak memungut bayaran, ia bisa memberikan cinta dan kasih sayang kepada para pasiennya. Memang sudah sepantasnya rumah sakit dan dokter tidak melibatkan bisnis dalam praktek kedokteran. Patch melihat hal itu sebagai hal yang salah.
Di Gesundheit, Patch tak hanya menyediakan fasilitas kesehatan, ia juga menyediakan sebuah lahan yang penuh dengan tanaman. Siapa saja boleh menanam dan memakannya. Para pasien boleh tinggal disitu dan bercocok tanam. Yang hasilnya bisa dimakan bersama-sama dengan pasien lainnya.
Tak ayal lagi, hal ini lah yang membuat banyak pasien sembuh. Rasa cinta dan penuh perhatian yang diberikan oleh seluruh praktisi kesehatan di Gesundheit membuat tubuh pasien menghasilkan kesembuhan yang alami.

Mengambil Makna
1. Do The Best, and God Take The Rest - berbuatlah yang terbaik dalam hidupmu, dan serahkan segalanya ke dalam tanganNya.
2. Sayangilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.

Monday, September 29, 2008

Sometimes Shit Happens !!



"Mama said Life is Like a Box of Chocolate"....
Forrest Gump adalah sebuah film drama tahun 1994 berdasarkan novel tahun 1986 oleh Winston Groom. Film ini sukses secara komersial dan menjadi film terlaris di Amerika Utara pada tahun rilisnya. Film ini meraih total 13 nominasi Academy Awards dan memenangkan enam diantaranya, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Robert Zemeckis), dan Aktor Terbaik (Tom Hanks).



Sang IQ Rendah

Film ini menceritakan tentang seorang pria dengan IQ bernama Forrest Gump yang berasal dari sebuah keluarga yang berantakan di mana orang tuanya bercerai dan ibunya memiliki hubungan lagi dengan pria lain. Forrest sering diejek dan dijauhi oleh kawan-kawannya karena kecerdasannya yang di bawah rata-rata. Namun di luar ketidakmampuannya itu, ia memiliki kemampuan lari yang cepat.

The Beginning - Possesif

Pada hari pertama sekolahnya, ia bertemu dengan Jenny, seorang anak perempuan dekat tempat tinggalnya yang dikenalnya sejak taman kanak-kanak, tapi menjadi cinta tak berbalas. Ketika lulus SMA, ia mendaftar masuk ke militer dan dikirim ke Vietnam, di mana ia dengan segera berteman dengan seorang pria negro bernama Bubba, yang meyakinkan Forrest untuk ikut dalam bisnis udang bersamanya setelah perang usai. Forrest menjadi seorang yang sangat berjasa dalam peletonnya dengan kemampuan lari cepatnya. Ia menjadi penyelamat banyak tentara yang terluka dan juga menolong komandannya, sehingga dia menerima Medali Kehormatan Kongres atas kepahlawanannya. Saat penyembuhan dari tembakan peluru yang bersarang di bokongnya, ia menemukan kemampuan terpendamnya dalam pingpong. Ia pun menjadi atlet tenis meja yang terkenal dan membawa negaranya ke ajang internasional dalam sebuah pertandingan melawan tim Cina. Dalam sebuah demonstrasi anti perang di Washington, DC, ia bertemu dengan Jenny, yang telah bergaya hidup hippie. Forrest Gump dewasa menghabiskan waktunya untuk melakukan pencarian teman kecil perempuannya yang hilang. Ia mengeluarkan uang tabungannya untuk membeli kapal penangkap udang seperti yang dijanjikannya pada Bubba. Pada awalnya, usahanya selalu gagal tapi dengan kerja keras dan pantang menyerah, dan dibantu oleh komandannya yang telah pensiun karena cacat, ia pun menjadi seorang yang sukses dan mampu untuk membiayai keluarga Bubba.Suatu hari, Jenny kembali dan menemui Forrest, yang kemudian melamarnya. Jenny menolak, tetapi merasa harus membuktikan cintanya kepada Forrest dengan tidur bersamanya. Jenny kemudian pergi pagi-pagi benar.



Sang Impulsif

Tanpa berpikir panjang, Forrest memilih untuk melakukan perjalanan. Mungkin secara impulsif, ia memutuskan untuk berlari mengelilingi Amerika Serikat, selama lebih dari tiga setengah tahun, dan menjadi terkenal. Sekembalinya di kemudian hari, ia mendapatkan surat dari Jenny, yang melihatnya sedang berlari di televisi, memintanya untuk datang. Setelah bertemu, Forrest menyadari bahwa Jenny telah memiliki seorang anak laki-laki, yang adalah anak mereka berdua. Jenny memberitahu Forrest bahwa Jenny sedang sakit karena virus. Ketiganya kemudian kembali ke Greenbow, Alabama. Jenny dan Forrest akhirnya menikah, tetapi tak lama kemudian Jenny meninggal dunia.


Mengambil Makna
1. Jangan rendah diri, kelemahan dapat menjadi kekuatan jika mau bekerja keras.
2. Bahwa setiap manusia pasti memiliki talenta yang harus dikembangkan.
3. Mau melihat ke depan, jangan hanya berpikir ke masa lalu




diambil dari wikipedia.org

Tuesday, September 23, 2008

TUHAN TIDAK PINTAR MATEMATIKA


Dari pengamatan saya terhadap keseharian yang saya temui, saya dapat menyimpulkan satu hal: Tuhan memang serba bisa, tapi Dia tidak pintar matematika. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar lho.

Banyak bukti empiris yang mendukung kesimpulan saya ini. Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang bekerja di ibukota dan ia mulai membandingkan penghasilan kami (dari sisi finansial tentunya). Jelas saja saya kalah telak darinya.Saya sempat jengkel sebentar. Bagaimana tidak. Selama bermahasiswa, sepertinya prestasi kami sejajar, bahkan saya lebih dahulu lulus ketimbang dia.


Tapi kenapa Tuhan tidak menitipkan rejeki yang sama besarnya dengan yang dititipkan pada teman saya ini? Tapi, begitu saya merenungkan kembali segala kebaikan Tuhan saya menemukan satu hal yang luar biasa. Ternyata penghasilan saya yang tak seberapa itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya.

Padahal logikanya pengeluaran saya per bulannya bisa sampai dua kali lipat penghasilan saya. Lalu darimana sisa uang yang saya dapat untuk menutupi kesemuanya itu? Wah, ya dari berbagai sumber.


Tapi saya percaya tanpa campur tangan-Nya, itu semua tidak mungkin.Nah, ini salah satu alasan mengapa Tuhan tidak pintar matematika. Lha wong seharusnya neraca saya sudah njomplang kok masih bisa terus hidup.Bukti kedua adalah kesaksian seorang teman. Ia mengaku kalau semenjak lajang, penghasilannya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Anehnya, pada saat ia masih membujang, penghasilannya selalu pas. Maksudnya, pas akhir bulan pas uangnya habis.


Anehnya, begitu ia berkeluarga dan memiliki anak, dengan penghasilan yang relatif sama, ia masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Aneh bukan?Berarti kalau bagi manusia 1 juta dibagi satu sama dengan 1 juta dan 1 juta dibagi dua sama dengan 500 ribu, tidak demikian bagi Tuhan.Dari kesaksian teman saya, satu juta dibagi 3 sama dengan satu juta dan masih sisa. Betul kan bahwa Tuhan itu tidak pintar matematika?


Ah, saya cuma bercanda kok.

Buat saya, kalau dilihat dari logika manusia, Dia memang tidak pintar matematika. Mungkin murid saya yang kelas 2 SD lebih pintar dari Dia. Tapi satu hal yang harus digarisbawahi:

MATEMATIKA TUHAN BEDA DENGAN MATEMATIKA MANUSIA.


Saya tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah sanggup mengetahui persamaan apa yang digunakan Tuhan. Tapi kalau boleh saya menggambarkan, ya kira-kira demikian:

X= Y di mana:

X = pemberian Tuhan

Y = kebutuhan


Ya, Tuhan selalu mencukupkan apapun kebutuhan kita. Tanpa kita minta pun, Dia sudah "menghitung" kebutuhan kita dan menyediakan semua lewat jalan-jalan- Nya yang terkadang begitu ajaib dan tak terduga.Menyadari hal itu, saya bisa menanggapi cerita teman-teman yang "sukses" dengan penghasilan tinggi di luar kota dengan senyum manis. Soal penghasilan Tuhan yang mengatur. Untuk apa saya memusingkan diri dengan berbagai kekhawatiran sementara


Dia telah menghidangkan rejeki di hadapan saya?Yang perlu saya lakukan hanyalah melakukan bagian saya yang tak seberapa ini sebaik mungkin, dan Ia yang akan mencukupkan segala kebutuhan saya.


Friday, September 19, 2008

Customers Are Not Always Right, but They Are Still Important!




PERNAH dengar slogan seperti ini?

Rule #1: The customer is always right.

Rule #2: If the customer is wrong, please re-read rule number one!


Itulah slogan yang sangat klasik di kalangan marketers. Slogan ini pun dipakai di mana-mana dan sudah menjadi semacam pelajaran pertama dalam “Customer 101”. Slogan tersebut mulai dipakai di toko-toko ritel sejak awal abad ke-20. Tidak terlalu jelas, siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.


Kalau di Amerika, yang pertama kali menggunakannya adalah toko serba ada atau toserba (department store) Marshall Field di Chicago yang didirikan pada akhir abad ke-19. Sementara kalau di Inggris, Harry Gordon Selfridge Sr.-lah yang mempopulerkannya. Ia memakainya untuk toserba Selfridge-nya yang ada di London yang dibuka pada tahun 1909.
Selfridge sendiri, yang orang Amerika, sebelumnya pernah bekerja di Marshall Field. Jadi, kemungkinan salah satu di antara Field atau Selfridge-lah yang menciptakan slogan tadi. Sebenarnya, ada lagi pernyataan yang mirip yang berasal dari pebisnis hotel asal Perancis, César Ritz. Pada tahun 1908 ia mengatakan “Le client n’a jamais tort” atau “The customer is never wrong”.


Terlepas dari siapa yang pertama kali mengatakannya, sebenarnya pernyataan tersebut ingin mengatakan bahwa “customer is important”. Tapi, hal ini salah diterjemahkan orang. Banyak yang secara letterlijk (literal) menerjemahkannya, jadinya malah keliru.


Pernyataan itu bukan berarti bahwa pelanggan selalu benar. Ungkapan tersebut lebih merupakan filosofi bagaimana cara melayani pelanggan dengan menempatkan pelanggan sebagai prioritas utama. Buat saya, interpretasi seperti inilah yang lebih tepat.
Di Singapore Airlines, mereka tidak setuju pendapat “customer is always right” karena kenyataannya memang begitu. Namun, siapa yang bisa menyangkal kualitas layanan ala Singapore Girl yang legendaris tersebut? Ini membuktikan bahwa slogan tadi tidak harus ditelan secara mentah-mentah begitu saja. Singapore Airlines menempatkan penumpang sebagai yang terpenting, namun bukan berarti bahwa penumpang selalu benar.

Terlebih di zaman New Wave Marketing ini, belum tentu semua pelanggan bisa bersikap fair dan jujur. Saat ini orang bisa komplain tentang kita dengan memakai nama samaran dan media apapun. Bukan cuma lewat media konvensional seperti surat pembaca di koran. Tapi juga bisa lewat e-mail atau blog atau forum-forum diskusi online.
Jadi, mau tidak mau para marketers sekarang harus rajin-rajin membuka Internet dan meng-googling berita-berita terbaru yang berkaitan dengan merek atau perusahaannya. Karena, kalau ada pelanggan yang komplain dan nggak dijawab dengan sopan bisa meluas ke mana-mana.


Ada satu contoh menarik bagaimana penanganan customer complaint secara keliru bisa tersebar luas lewat Internet. Pada tahun 2006, ada seorang blogger asal New York yang namanya Vincent Ferrari. Usianya sekitar 30-an tahun. Ia adalah pelanggan provider Internet AOL di Amerika.
Ferrari ini ingin membatalkan langganan AOL-nya, karena sejak setahun sebelumnya ia sebenarnya sudah tidak menggunakan layanan AOL lagi. Ia lalu menelepon customer service AOL, dan diterima oleh seseorang yang bernama John. John ini tidak serta-merta menuruti permintaan Ferrari, karena catatan yang ada di AOL menunjukkan bahwa Ferrari masih menggunakan layanan AOL sampai saat Ferrari menelepon itu.
Namun, Ferrari merasa bahwa catatan yang ada di AOL itu tidak benar. Ketika Ferrari bersikeras, John pun minta untuk bicara dengan ayah Ferrari, yang tercatat sebagai nama pelanggan di AOL. Ferrari tidak mau. Percakapan ini berlangsung semakin sengit, karena masing-masing pihak merasa benar. Sampai-sampai Ferrari berulang kali berteriak, “Cancel the Account!”


Serunya, percakapan ini ternyata direkam oleh Ferrari dan dimuat di blog-nya pada 13 Juni 2006. Tak pelak, rekaman ini pun tersebar luas dan bahkan sempat ditayangkan di stasiun TV CNBC. AOL kemudian memecat John, dan menyatakan permintaan maaf kepada Ferrari secara terbuka. Inilah salah satu contoh bahwa pelanggan tidak selalu benar, namun tetap yang terpenting.

Lihat saja, belum tentu Ferrari ini benar, karena catatan AOL menunjukkan bahwa ia masih menggunakan layanan AOL. Namun, nama AOL sudah terlanjur tercemar. Di era New Wave Marketing, kesalahpahaman yang tidak diselesaikan dengan segera seperti ini bisa melebar kemana-mana, merambah tidak terkendali, dan menimbulkan market damage yang biayanya tinggi.

Jadi, kalau pelanggan yang salah, memang harus ditanggapi dengan cepat secara humble,. Tapi tidak perlu minta maaf dan memberikan recovery kalau memang Anda tidak salah. Lantas, bagaimana kalau Anda yang salah? Wah, harus cepat-cepat minta maaf, memberikan recovery dan janji bahwa hal seperti itu tidak akan terulang kembali.




Wednesday, September 17, 2008

Ulang Tahun Mario Ke-2


Digendong Suster di Panti Asuhan Anak-anak

Melihat Aktivitas Teman-teman di Panti Asuhan

Halo, namaku Rio...


Foto Bareng Oma Opa di Panti Jompo



Kue Black Forest !!! Hmmm..



Mejeng Bentar Ahh...


Panjang Umurnya 2x!!!
1....2.....3.....huffff!!!!!


Siap-siap Bagi-bagi Kue ke Teman-teman