Friday, November 6, 2009

Meninjau Ulang Product Management


Product management di era legacy sangat erat hubungannya dengan bagaimana pemasar mewujudkan ide menjadi produk yang siap dipasarkan. Dalam hal ini minimal ada tiga tahapan yang harus dilalui yakni melakukan scoping and building business case, development and testing, dan terakhir ditutup dengan product launching.


Sebagai tahapan pertama, scoping and building business case bertujuan untuk menilai dan mengukur aspek keuangan, aspek penerimaan pasar, aspek operasional teknik mewujudkan ide menjadi produk nyata, dan faktor-faktor lain yang berpotensi meningkatkan atau menurunkan tingkat kesuksesan produk di pasar. Secara tradisional, aktivitas utama dalam tahapan ini adalah melakukan riset primer (dengan metode interview dan focus group discussion (FGD) kepada pelanggan), dan melakukan riset sekunder (studi literatur, internet, dan dokumentasi internal yang dimiliki). Output yang dihasilkan dari tahapan ini adalah keputusan diteruskan atau tidak diteruskannya ide pengembangan produk baru ke tahapan yang selanjutnya. Karena di tahap ini, perusahaan menimbang banyak hal yang menyangkut tingkat penerimaan pasar, kemampuan keuangan dan teknis, dan faktor eksternal lain yang berpotensi mempengaruhi kesuksesan produk. Apabila setelah dinilai dari aspek pasar, keuangan, teknik, dan faktor eksternal semuanya positif, ide pengembangan produk baru akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya ke tahap development and testing.


Pada tahapan development dan testing, perusahaan melakukan analisa lebih dalam mengenai empat aspek di atas. Ada lab test, in-house test, alpha-test untuk memastikan aspek teknis dari produk. Sedangkan di sisi pasar dilakukan berbagai analisa pasar dan analisa terhadap input dari pelanggan yang dilakukan secara paralel dengan aktivitas pre-test, test market, dan trial-sell agar sebelum produk diluncurkan semuanya telah sempurna; produknya sempurna, jaringan distribusi (channel) juga siap, dan kebijakan penjualan beserta harganya telah jelas. Apabila salah satu aspek tidak sempurna dan produk nekat diluncurkan, dengan berbagai pertimbangan misalnya karena tidak mau kalah cepat dengan pesaing, produk kemungkinan besar akan gagal di pasar.


Yang sering ditemukan adalah produknya telah sempurna dan siap dipasarkan namun perusahaan belum selesai merancang strategi penjualan dan distribusinya. Product launching (peluncuran produk) adalah titik kulminasi dari dua proses sebelumnya, namun bukan proses terakhir menuju produk sukses. Product launching adalah awal dari proses komersialisasi produk baru yang kemudian akan dilanjutkan dengan tahapan-tahapan marketing taktis. Pada tahapan ini, manajemen minimal harus telah selesai merancang product positioning, differentiation dan brand (PDB produk), marketing-mix-nya dan taktik penjualan beserta channel management-nya.


Jika elemen tersebut telah siap, maka product launching benar-benar akan menjadi moment of truth bagi kesuksesan produk di pasar, bukan sekedar memperlihatkan dummy product seperti yang telah umum terjadi. Di dalam marketing customer, product, dan brand management sangat penting. Customer management terkait dengan bagaimana pemasar mengelola sisi permintaan. Product management terkait dengan bagaimana pemasar mengelola sisi penawaran. Brand management adalah bagaimana pemasar menjembatani keduanya. Di era New Wave, praktek dan cara kita mengelola produk tentunya tidak bisa lagi se-tradisional atau se-legacy seperti yang di atas. Karena sisi demand-nya berubah. Praktek customer management yang dilakukan oleh pemasar juga berubah, seperti yang telah dijelaskan kemarin, harus berorientasi penuh pada komunitas.


Karena praktek komunitisasi menjadi sentral dalam New Wave ini, maka pemasar harus barenginya dengan product management yang bertumpu dan mengacu pada pendekatan komunal pula. Artinya pemasar harus melibatkan komunitas pelanggan dalam proses pengelolaan produknya, sehinga dapat menghasilkan co-creation yang meaningful bagi pelanggan.


Customer Management di Era New Wave


Pengelolaan pelanggan, jika dilakukan dengan benar akan membantu pemasar dalam meningkatkan efektifitas mendapatkan pelanggan baru (Get), mempertahankan pelanggan yang telah ada (Keep), dan meningkatkan wallet share tiap pelanggan (Grow). Pada intinya, pelanggan bukan hanya harus diakuisisi, tapi dipertahankan agar dapat memberikan nilai jangka panjang. Dan bukan itu saja, pengelolaan pelanggan ini akan membantu pula untuk menghasilkan pelanggan loyal yang lebih banyak.


Di era Legacy, pengelolaan pelanggan ini bisa dilakukan secara sistematis, lewat prinsip sembilan elemen pemasaran. Untuk mendapatkan pelanggan baru yang berpotensi untuk ditingkatkan loyalitasnya (keep dan grow), sejak awal perusahaan harus menyaring secara benar para suspek yang masuk menjadi prospek yang bernilai tinggi. Dengan demikian hanya diperlukan sumber daya yang minim untuk mengubahnya menjadi pembeli pertama (first time buyer). Suspek yang masuk disaring dengan strategi Segmentasi, Targeting, dan Positioning-disingkat STP.


Tujuannya adalah agar suspek yang masuk menjadi prospek adalah suspek-suspek yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama dangan value proposition yang dimiliki produk.
Kemudian untuk menarik prospek menjadi pembeli pertama digunakan strategi diferensiasi, marketing-mix, dan selling- disingkat menjadi DMS. Diferensiasi yang mendorong prospek memilih produk kita dibandingkan produk pesaing. Diferensiasi dikongkritkan lagi dalam marketing mix yang yakni product, price, promotion dan place, harganya mau dipatok pada angka berapa, bagaimana konsep iklan below the line (BTL) dan above the line (ATL)-nya dan mau memakai saluran distribusi apa saja.


Keputusan dalam marketing mix akan menentukan kredibilitas positioning yang telah dibangun sebelumnya. Misalnya produk telah diposisikan sebagai produk yang ekslusif namun ternyata pelanggan dapat menjumpainya di sembarang channel, maka jelas kesan ekslusif yang coba dibangun dengan promosi menjadi tidak berguna.

Setelah mendapat first time buyer, tentunya perusahaan ingin mempertahankannya selama mungkin menjadi pelanggan loyal. Caranya dengan menjelaskan nilai dari brand, meningkatkan kualitas servis (Service), dan memperbaiki proses yang mendukung perbaikan servis (Process)- disingkat BSP.

Untuk mendorong first time buyer melakukan pembelian berikutnya, pelanggan harus percaya pada nilai brand (brand value). Membangun brand yang kuat berkaitan dengan usaha untuk membuat pelanggan melihat brand kita sebagai brand yang paling kredibel yang dapat memberikan solusi terbaik. Brand harus menjadi bayung yang merepresentasikan produk dan servis.

Untuk meningkatkan brand value, sebuah brand membutuhkan dukungan servis yang baik. Peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses di sini yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar pada kualitas produk, biaya yang dikeluarkan dan kualitas hantaran produk kepada pelanggan atau disingkat QCD-quality, cost, delivery.

Itu semua tentunya ajaran yang sesuai dengan konsep pemasaran yang Legacy di mana pemasar dibantu oleh sistem yang ‘canggih’ seperti CRM, ERP, atau lain sebagainya. Tentunya itu semua sudah semakin tidak relevan lagi seiring dengan masuknya kita ke era New Wave.

Di dunia yang baru dan horizontal ini, kepanjangan dari CRM mungkin bukan lagi Customer Relationship Management, namun Customer Really-Managed. Karena konsumen semakin memegang kendali, mereka terhubung kemana-mana, dan lebih komunal. Sebagai mana yang akan dibahas dalam artikel selanjutnya, yang menjadi sentral dalam customer management di era New Wave ini adalah bagaimana pemasar mengelola pelanggan di komunitas mereka


Monday, August 31, 2009

Orang Bodoh VS ORang Pintar


Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya berbisnis...Agar bisnisnya berhasil, tentu dia harus rekrut orang pintar.Walhasil boss-nya orang pintar adalah orang bodoh.


Orang bodoh sering melakukan kesalahan,maka dia rekrut orang pintar yang tidak pernah salah untuk memperbaiki yang salah.Walhasil orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk keperluan orang bodoh.


Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah untuk selanjutnya mencari kerja. Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk membayari proposal yang diajukan orang pintar.


Orang bodoh tidak bisa membuat teks pidato,maka dia menyuruh orang pintar untuk membuatnya.


Orang bodoh kayaknya susah untuk lulus sekolah hukum (SH).oleh karena itu orang bodoh memerintahkan orang pintar, untuk membuat undang-undangnya orang bodoh.


Orang bodoh biasanya jago cuap-cuap jual omongan,sementara itu orang pintar percaya.Tapi selanjutnya orang pintar menyesal karena telah mempercayai orang bodoh.Tapi toh saat itu orang bodoh sudah ada di atas.


Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu yang dipikirkanpanjang-panjang oleh orang pintar. Walhasil orang orang pintar menjadi staf-nya orang bodoh.


Saat bisnis orang bodoh mengalami kelesuan,dia PHK orang-orang pintar yang berkerja.Tapi orang-orang pintar DEMO. Walhasil orang-orang pintar 'meratap-ratap' kepada orang bodoh agar tetap diberikan pekerjaan.Tapi saat bisnis orang bodoh maju, orang pintar akan menghabiskan waktu untuk bekerja keras dengan hati senang, sementara orang bodoh menghabiskanwaktu untuk bersenang-senang dengan keluarganya.


Mata orang bodoh selalu mencari apa yang bisa dijadikan duit.Mata orang pintar selalu mencari kolom lowongan perkerjaan.


Bill gate (Microsoft), Dell, Hendri (Ford), Thomas Alfa Edison, Tommy Suharto, Liem Siu Liong (BCA group), adalah contoh orang-orang yang tidak pernah dapat S1), tapi kemudian menjadi kaya.Ribuan orang-orang pintar bekerja untuk mereka.Dan puluhan ribu jiwa keluarga orang pintar bergantung pada orang bodoh.


PERTANYAAN :

Mendingan jadi orang pintar atau orang bodoh?Pintaran mana antara orang pintar atau orang bodoh?

Mana yang lebih mulia antara orang pintar atau orang bodoh?

Mana yang lebih susah, orang pintar atau orang bodoh?


KESIMPULAN:

Jangan lama-lama jadi orang pintar,lama-lama tidak sadar bahwa dirinya telah dibodohi oleh orang bodoh..

Jadilah orang bodoh yang pintar dari pada jadi orang pintar yang bodoh..

Kata kunci nya adalah 'risiko' dan 'berusaha',karena orang bodoh berpikir pendek maka dia bilang risikonya kecil,selanjutnya dia berusaha agar risiko betul-betul kecil.

Orang pinter berpikir panjang maka dia bilang risikonya besar untuk selanjutnya dia tidak akan berusaha mengambil risiko tersebut.Dan mengabdi pada orang bodoh...


Dimanakah posisi kitaa saat ini...


Berhentilah meratapi keadaan kita yang sekarang...Ini hanya sebuah refleksi dari semua retorika dan dinamika kehidupan.Semua pilihan dan keputusan ada di tangan kitaa untuk mengubahnya,Lalu perhatikan apa yang terjadi...


from: Mario Teguh

Thursday, June 18, 2009

Masuki Sunset, Banyak Pabrik Rokok Dijual


Langkah British American Tobacco (BAT) mengakuisisi 85 persen saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk merupakan kejutan terbesar di pasar modal tahun ini. Akibat akuisisi ini, harga saham Bentoel melonjak 60 hingga sempat menembus level tertinggi 820.




Pengamat pasar modal Recapital Securities Poltak Hotredo mengaku tak kaget dengan akuisisi saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk oleh PT British American Tobacco. Sebab industri rokok Indonesia telah memasuki fase sunset. Penyebabnya, menurut Poltak, adalah kebijakan cukai pemerintah yang semakin tinggi dan pengeluaran perusahaan untuk pembelian pita rokok. "Tidak peduli harganya, cukai akan terus naik," ujarnya.




Kendati pita dibebankan kepada konsumen, lanjutnya, perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya untuk membeli pita. Menurut dia, penjualan perusahaan nasional kepada asing atau multinasional merupakan refleksi dari masalah yang melilit industri rokok.




Pilihan perusahaan rokok terbatas, menjual atau tak berkembang.Belum lagi perusahaan rokok nasional harus berhadapan dengan perusahaan rokok kecil yang tak membayar pajak. "Industri kecil dan menengah tak bisa diberantas karena selera lokal," ucapnya.Keadaan ini dimanfaatkan perusahaan rokok asing dan multinasional untuk mengembangkan pasarnya di Indonesia yang masih memiliki potensi dengan nilai cukai yang relatif tak tinggi bagi mereka.




Sementara pasar di negara maju semakin berkurang dengan nilai cukai yang sangat tinggi.Suramnya industri rokok juga dibenarkan Managing Director Bussiness Development Grup Rajawali, Darjoto Setyawan. Bisnis rokok, menurut Darjoto, sebenarnya masih prospektif. Sebab, penjulan kita secara nasional bisa mencapai 260 miliar batang. "Tetapi, ada tantangan yakni perubahan sistem cukai, kenaikan cukai, pajak daerah, dan rencana larangan iklan di media elektronik serta cetak karena alasan kesehatan," ujar Darjoto kemarin.




Tuesday, June 9, 2009

Kasus Prita dan Teknologi Marketing 2.0


Di dunia maya, kata kunci ”prita mulyasari” dan ”rs omni” kini sedang populer di mesin pencari. Kasus keluhan konsumen lewat e-mail pribadi itu memang memilukan yang berujung pada penahanan Prita Mulyasari. Terlepas siapa yang paling benar, dari pengalaman ini, tak ada pihak yang diuntungkan.


Prita Mulyasari (32), seperti terlihat di televisi, terguncang akibat penahanan ini. Pihak rumah sakit, di mata mesin pencari seperti Google dan Yahoo!, gugatan untuk menegakkan nama baik itu berbalik 180 derajat dari harapan.


Buka saja Google dan masukkan kata kunci ”rumah sakit omni internasional”. Hitung berapa komentar positif dan komentar negatif di situ.


Google sebagai mesin pencari favorit telah mengindeks ribuan dan mungkin nanti bisa jutaan kecaman. Tak ada harapan bisa memulihkan kecaman itu menjadi pujian. Mesin pencari akan abadi menyimpan arsip itu.


Jadi, selamat datang di dunia marketing 2.0. Kasus ini mengindikasikan, publik Indonesia ternyata melek internet dan siap menyongsong era baru. Suka atau tidak, bahasa baru marketing telah datang dan efektif bekerja.


Dimotori para netter dan anggota situs jejaring sosial, terutama Facebook, tampak nyata sifat dari marketing 2.0. Jeritan satu e-mail itu berkumandang di jutaan komentar dukungan pada Prita. RS Omni Internasional yang tak aktif di dunia jejaring sosial diasosiasikan sebagai ”orang luar”.


Teknologi marketing tak lagi menggunakan media konvensional. Marketing 2.0 justru bertumpu pada basis ”dari mulut ke mulut”.


Pemerhati marketing 2.0, Paul Beelen (http://www.paulbeelen.com/), mengingatkan, tradisi word of mouth ini lebih berkuasa karena didukung para netter.


Mulut yang dimaksud adalah teknologi web atau menurut istilah pakar internet, Tim O’Reilly, sebagai web 2.0 yang merupakan generasi terbaru teknologi web interaktif seperti situs jejaring sosial, blog, RSS, dan lain-lain.


Kini, paradigma baru bukan lagi publikasi dari perusahaan, melainkan partisipasi publik. Jutaan orang merelakan waktu berjam-jam nongkrong di situs jejaring sosial untuk berbagi.
Data Nielsen NetView April 2009 menyebutkan, waktu yang dibutuhkan bersosialisasi di jejaring sosial nomor satu, Facebook, naik 700 persen dibandingkan dengan April tahun lalu. Twitter yang tahun lalu traffic-nya nomor lima setelah Facebook, MySpace, Blogger, dan Tagged, waktu yang dihabiskan user naik fantastis 3.712 persen daripada tahun lalu.


Ruang ”web”


Marketing 2.0 tak lagi menonjolkan iklan konvensional di publicsphere yang strategis, melainkan penetrasi websphere pada situs web dengan traffic tinggi. Tak hanya mengandalkan pembuat naskah iklan, melainkan pakar-pakar SEO atau Search Engine Optimization ulung.


Ahli marketing 2.0, Don Thorson, lewat situs donthorson.com menekankan materi iklan tak lagi sentralistik dari manajemen yang disaring humas ke konsumen. Materi marketing 2.0 beragam, bisa berasal dari siapa pun.


Humas tak punya kontrol atas iklan yang beredar. Memilukan jika sampai ada materi buruk beredar. Namun, begitulah semangat berbagi, mereka akan membicarakan baik-buruknya layanan produk yang ada.


Di era marketing 2.0, perusahaan tak bisa menghentikan konsumen membicarakan produknya. Menyakitkan memang, tetapi justru dari sini banyak peluang terbentang.
Jika mau berpartisipasi, strategi ini bisa mudah digunakan. Pesan bisa tersebar layaknya virus, inilah viral marketing yang telah membuat banyak perusahaan melek internet berjaya.


Lari ke internet


Sejak dulu para netter punya tradisi berbagi pengalaman pribadi atau mengulas produk. Ulasan atau komentar positif memang diyakini lebih efektif daripada iklan komersial.


Banyak orang terbantu dengan tulisan atau review orang lain. Membaca komentar orang lain sebelum membeli laptop kini sudah menjadi kebiasaan kita.


Orang-orang juga lari ke internet mencari segala sesuatu, misal terkait kesehatan. Konsumen makin pintar dan punya informasi yang dia peroleh dari membaca ulasan orang lain.
Jika komunikasi dokter bermasalah, ini bisa memicu iklan buruk dan siap-siap saja menuai komentar negatif.


Yakinlah, gugatan terhadap komentar negatif tak akan efektif memadamkan ”bola api liar” di internet.


Lalu, apa solusinya? Tak ada cara lain kecuali dengarkan dan berkomunikasilah. Bagaimana jika tak berhasil? Ingat kata dokter: lipat gandakan dosisnya.


Thursday, May 28, 2009