Tuesday, September 16, 2008

The Never-Ending Cola War: Coke vs Pepsi


PERANG antara Coca-Cola (Coke) dan Pepsi memang merupakan salah satu perang klasik dalam dunia pemasaran. Kedua merek ini di zaman Legacy Marketing dulu saling menyerang lewat iklan.
Salah satu iklan Pepsi pada era 1980-an ada yang berjudul “Earth: Sometime in the Future”. Digambarkan seolah-olah kondisi bumi di masa depan. Ada seorang guru yang membawa murid-muridnya berjalan-jalan ke sebuah situs arkeologi. Sambil berjalan-jalan, murid-murid tersebut minum Pepsi. Di sana mereka menemukan berbagai benda yang merupakan artifak dari masa lalu. Benda pertama adalah bola bisbol. Yang kedua adalah gitar.

Nah, benda ketiga yang ditemukan tidak jelas bentuknya karena sudah tertutup debu dan tanah. Sang guru lalu membersihkan benda tersebut, dan akhirnya benda tersebut menampakkan wujudnya yang asli. Murid-muridnya bertanya, benda apa itu? Dijawab oleh sang guru, “I have no idea.”Anda tahu benda apa itu? Ternyata itu adalah sebuah botol Coke! Iklan tersebut kemudian diakhiri dengan tulisan “Pepsi: The Choice of a New Generation.”
Kurang ajar, bukan? Memang, dari dulu Pepsi itu selalu membuat iklan-iklan komparasi yang “menghantam” Coke. Pepsi ingin mereposisi Coke sebagai kola yang kuno, kola-nya orang tua. Tapi, Coke juga tidak tinggal diam. Coke pernah membuat iklan untuk merespon kampanye “Pepsi Challenge” pada tahun 1985.


Ketika itu Pepsi pernah melakukan blind test. Orang diminta memilih, mana yang lebih mereka sukai dari dua minuman kola tanpa merek yang mereka minum. Kedua minuman itu nantinya diketahui masing-masing adalah Pepsi dan Coke. Hasilnya? Pepsi mengklaim bahwa kebanyakan orang lebih suka minum Pepsi ketimbang Coke.


Nah, selain merespon dengan mengeluarkan “New Coke” yang menjadi salah satu marketing failure paling terkenal itu, Coke juga sempat mengeluarkan iklan. Isinya membandingkan “Pepsi Challenge” dengan kisah dua ekor simpanse yang sedang memutuskan, bola tenis mana yang bulunya lebih banyak! Kurang ajar, bukan? Memang, perang antar kedua kola ini sudah berlangsung turun-temurun dan bahkan jadi menarik untuk dinikmati.
Saya sendiri pernah berkunjung ke museum Coke di Atlanta, Amerika Serikat. Museum yang namanya “The World of Coca-Cola” ini menampilkan sejarah Coke lengkap dengan iklan-iklannya yang terkenal dari masa ke masa. Iklan-iklan tersebut berasal dari seluruh dunia. Di sini juga ada botol Coke dari berbagai negara. Ditampilkan juga bagaimana pengaruh Coke terhadap pop culture. Ada benda-benda seni yang terbuat dari botol dan kaleng Coke, yang salah satunya adalah karya artis terkenal Andy Warhol.


Ini menunjukkan bahwa Coke menghargai keragaman budaya lokal dari masing-masing bangsa. Di China, nama Coca-Cola bahkan sengaja disesuaikan dan ditulis dengan empat karakter huruf Mandarin yang dieja sebagai “ke kou ke le” yang bisa diartikan sebagai “delicious happiness”.
Dalam soal budaya, Coke memang dianggap lebih berpengaruh ketimbang Pepsi. Tokoh Santa Claus yang kita kenal sekarang misalnya—seorang kakek tua berkumis dan berjanggut panjang berwarna putih dengan pakaian merah-putih—disebut-sebut dipopulerkan pertamakalinya oleh Coke pada tahun 1930-an lewat iklan-iklannya.


Sementara itu, Pepsi selalu berupaya menampilkan citra sebagai kola yang lebih muda daripada Coke. Pepsi selalu memanfaatkan selebritis yang dekat dengan anak muda pada masanya. Selebritis mulai dari Michael Jackson, Madonna, Britney Spears, David Beckham, Spice Girls, F4 sampai ke Jay Chow sempat menjadi brand endorsers Pepsi.
Perang kola ini terus berlanjut di era Internet. Pepsi meluncurkan kembali program “Pepsi Stuff” pada tahun 2005 lalu, yang kemudian direspon Coke dengan meluncurkan program “Coke Rewards”. Keduanya adalah loyalty program yang memberikan hadiah kepada pelanggan yang berhasil mengumpulkan sejumlah poin secara online.

Berbagai kisah di atas menunjukkan bahwa kedua merek sama-sama hebat. Mereka sama-sama ingin jadi merek yang horisontal. Kalau Coke menempuh cara lewat pendekatan budaya lokal, Pepsi ingin memposisikan dirinya sebagai mereknya anak muda yang selain merupakan simbol masa depan, juga merupakan simbol horisontal.
Tidak ada yang mau jadi Legacy Brand. Tidak ada yang mau jadi Vertical Brand. Inilah contoh produk komoditas. Produk yang bukan hanya low-technology, namun malah no-technology. Kedua produk ini juga sudah sangat kuno. Mereka sudah ada sejak tahun 1890-an. Jadi usianya sudah lebih dari 100 tahun. Walaupun demikian, mereka tetap terus berebut untuk jadi Horisontal Brand.



Lantas, siapa yang menang? Buat saya, it’s a never-ending war. Hal ini karena mereka bermain traditional boxing, bukan Thai boxing atau American Wrestling seperti pernah saya bahas. Mereka tidak melakukan perang harga atau main curang.
Jadi, mari terus kita nikmati perang klasik antara kedua merek ini!


diambil dari new wave marketing http://www.kompas.com/