Tuesday, January 20, 2009

Menciptakan "Obama" di Indonesia


Apa yang harus dilakukan kaum muda dan mahasiswa Indonesia jika suatu saat nanti tampil menjadi pemimpin bangsa, seperti Barack Obama? Kuncinya satu: aktiflah dalam kegiatan kemahasiswaan dan kemasyarakatan seperti yang pernah dilakukan Obama. Akan lebih baik jika calon pemimpin Indonesia, seperti halnya Obama, punya kepekaan lintas-budaya dan budaya lokal.Pendapat ini dikemukakan Prof Dr Bernadette N Setiadi (60), mantan Rektor Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.


Pidatonya, ”Relevansi Psikologi Lintas-Budaya dalam Memahami Kepemimpinan Global”, relevan dengan situasi dunia yang baru menyaksikan kemenangan Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) dan situasi Indonesia yang tahun depan menyelenggarakan pemilu legislatif dan presiden.”Obama itu unggul karena muda, inspiratif, dan pernah terekspos pada budaya lain sehingga ia punya kepekaan terhadap kesulitan masyarakat di negara berkembang. Perspektifnya menjadi lebih kaya,” ujarnya.


Membandingkan AS dengan Indonesia memang kurang adil, katanya, karena kelas menengah di AS jumlahnya amat besar dan sistem demokrasinya jalan.”Indonesia pada zaman Soekarno, rasa menjadi satu bangsa amat kental. Walaupun kita miskin, tapi bangga menjadi orang Indonesia. Sekarang justru set back karena kita tak mengikuti perkembangan zaman dan pengetahuan. Aturan tak tertulis masih sering mengemuka bahwa untuk jadi gubernur atau bupati harus putra daerah, padahal harusnya kompetensi yang lebih penting.”


Bernadette tertarik masalah kepemimpinan secara umum, bukan hanya korporat. Karena itu, dia mencoba mencari jawaban mengapa hanya sedikit kaum muda dan sarjana Indonesia yang tampil menjadi pemimpin. Jawabnya, sistem pendidikan dan budaya kolektivisme kita tidak mendidik kaum muda kota untuk percaya diri.”Ia banyak mewawancarai tokoh-tokoh yang berhasil. Mereka umumnya tidak terlalu tinggi capaian akademiknya, tetapi aktif di kemahasiswaan sehingga memiliki kemampuan dalam persuasi dan keterampilan sosial.”


Harusnya 10-15 persen mahasiswa kita nantinya bisa menjadi pemimpin jika sistem pendidikan kita sengaja dirancang agar siswa dan mahasiswa tidak hanya melulu belajar saja.”

Bernadette menyatakan, masyarakat dengan power distance yang tinggi menganggap wajar bahwa mereka yang memiliki status tinggi memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan orang dengan status rendah. Sebuah negara kolektivis dengan power distance tinggi, seperti Indonesia, ditandai kecenderungan untuk berorientasi pada pemegang kekuasaan dan relasi yang sifatnya hierarkis.


Kecenderungan ini menyebabkan individu yang dibesarkan pada budaya seperti itu menjadi takut untuk mengambil keputusan yang berbeda dari keinginan kelompok-dalamnya (in-group). Oleh karena itu, jauh lebih sulit bagi seorang pemimpin dalam budaya kolektivistik untuk melakukan tindakan yang benar tetapi tidak populer.Soeharto yang oleh sebuah parpol disandingkan dengan banyak pahlawan nasional dan guru bangsa, menurut Bernadette, dalam dua-tiga Pelita pertama memang dapat mendorong kemajuan ekonomi Indonesia dengan memanfaatkan dimensi power distance yang tinggi ini.Hanya, sayangnya, dalam perkembangan lebih lanjut, budaya kolektivisme dengan power distance tinggi ini tidak disikapi dengan tepat sehingga keputusan yang diambil cenderung memprioritaskan kelompok-dalamnya saja, dan bukan kepentingan bersama yang mengatasi batas-batas kepentingan kelompoknya sendiri.


Tokoh seperti Obama, menurut dia, selain memiliki visi jauh ke depan dan sangat inspiratif, juga memiliki dua kualitas lain yang menentukan apakah orang-orang yang dipimpinnya mau memercayai dan mau mengikutinya. Ia memiliki integritas serta nilai menghargai martabat manusia dan nilai mendahulukan kepentingan yang lebih besar.


No comments: