Thursday, June 18, 2009

Masuki Sunset, Banyak Pabrik Rokok Dijual


Langkah British American Tobacco (BAT) mengakuisisi 85 persen saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk merupakan kejutan terbesar di pasar modal tahun ini. Akibat akuisisi ini, harga saham Bentoel melonjak 60 hingga sempat menembus level tertinggi 820.




Pengamat pasar modal Recapital Securities Poltak Hotredo mengaku tak kaget dengan akuisisi saham PT Bentoel Internasional Investama Tbk oleh PT British American Tobacco. Sebab industri rokok Indonesia telah memasuki fase sunset. Penyebabnya, menurut Poltak, adalah kebijakan cukai pemerintah yang semakin tinggi dan pengeluaran perusahaan untuk pembelian pita rokok. "Tidak peduli harganya, cukai akan terus naik," ujarnya.




Kendati pita dibebankan kepada konsumen, lanjutnya, perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya untuk membeli pita. Menurut dia, penjualan perusahaan nasional kepada asing atau multinasional merupakan refleksi dari masalah yang melilit industri rokok.




Pilihan perusahaan rokok terbatas, menjual atau tak berkembang.Belum lagi perusahaan rokok nasional harus berhadapan dengan perusahaan rokok kecil yang tak membayar pajak. "Industri kecil dan menengah tak bisa diberantas karena selera lokal," ucapnya.Keadaan ini dimanfaatkan perusahaan rokok asing dan multinasional untuk mengembangkan pasarnya di Indonesia yang masih memiliki potensi dengan nilai cukai yang relatif tak tinggi bagi mereka.




Sementara pasar di negara maju semakin berkurang dengan nilai cukai yang sangat tinggi.Suramnya industri rokok juga dibenarkan Managing Director Bussiness Development Grup Rajawali, Darjoto Setyawan. Bisnis rokok, menurut Darjoto, sebenarnya masih prospektif. Sebab, penjulan kita secara nasional bisa mencapai 260 miliar batang. "Tetapi, ada tantangan yakni perubahan sistem cukai, kenaikan cukai, pajak daerah, dan rencana larangan iklan di media elektronik serta cetak karena alasan kesehatan," ujar Darjoto kemarin.




Tuesday, June 9, 2009

Kasus Prita dan Teknologi Marketing 2.0


Di dunia maya, kata kunci ”prita mulyasari” dan ”rs omni” kini sedang populer di mesin pencari. Kasus keluhan konsumen lewat e-mail pribadi itu memang memilukan yang berujung pada penahanan Prita Mulyasari. Terlepas siapa yang paling benar, dari pengalaman ini, tak ada pihak yang diuntungkan.


Prita Mulyasari (32), seperti terlihat di televisi, terguncang akibat penahanan ini. Pihak rumah sakit, di mata mesin pencari seperti Google dan Yahoo!, gugatan untuk menegakkan nama baik itu berbalik 180 derajat dari harapan.


Buka saja Google dan masukkan kata kunci ”rumah sakit omni internasional”. Hitung berapa komentar positif dan komentar negatif di situ.


Google sebagai mesin pencari favorit telah mengindeks ribuan dan mungkin nanti bisa jutaan kecaman. Tak ada harapan bisa memulihkan kecaman itu menjadi pujian. Mesin pencari akan abadi menyimpan arsip itu.


Jadi, selamat datang di dunia marketing 2.0. Kasus ini mengindikasikan, publik Indonesia ternyata melek internet dan siap menyongsong era baru. Suka atau tidak, bahasa baru marketing telah datang dan efektif bekerja.


Dimotori para netter dan anggota situs jejaring sosial, terutama Facebook, tampak nyata sifat dari marketing 2.0. Jeritan satu e-mail itu berkumandang di jutaan komentar dukungan pada Prita. RS Omni Internasional yang tak aktif di dunia jejaring sosial diasosiasikan sebagai ”orang luar”.


Teknologi marketing tak lagi menggunakan media konvensional. Marketing 2.0 justru bertumpu pada basis ”dari mulut ke mulut”.


Pemerhati marketing 2.0, Paul Beelen (http://www.paulbeelen.com/), mengingatkan, tradisi word of mouth ini lebih berkuasa karena didukung para netter.


Mulut yang dimaksud adalah teknologi web atau menurut istilah pakar internet, Tim O’Reilly, sebagai web 2.0 yang merupakan generasi terbaru teknologi web interaktif seperti situs jejaring sosial, blog, RSS, dan lain-lain.


Kini, paradigma baru bukan lagi publikasi dari perusahaan, melainkan partisipasi publik. Jutaan orang merelakan waktu berjam-jam nongkrong di situs jejaring sosial untuk berbagi.
Data Nielsen NetView April 2009 menyebutkan, waktu yang dibutuhkan bersosialisasi di jejaring sosial nomor satu, Facebook, naik 700 persen dibandingkan dengan April tahun lalu. Twitter yang tahun lalu traffic-nya nomor lima setelah Facebook, MySpace, Blogger, dan Tagged, waktu yang dihabiskan user naik fantastis 3.712 persen daripada tahun lalu.


Ruang ”web”


Marketing 2.0 tak lagi menonjolkan iklan konvensional di publicsphere yang strategis, melainkan penetrasi websphere pada situs web dengan traffic tinggi. Tak hanya mengandalkan pembuat naskah iklan, melainkan pakar-pakar SEO atau Search Engine Optimization ulung.


Ahli marketing 2.0, Don Thorson, lewat situs donthorson.com menekankan materi iklan tak lagi sentralistik dari manajemen yang disaring humas ke konsumen. Materi marketing 2.0 beragam, bisa berasal dari siapa pun.


Humas tak punya kontrol atas iklan yang beredar. Memilukan jika sampai ada materi buruk beredar. Namun, begitulah semangat berbagi, mereka akan membicarakan baik-buruknya layanan produk yang ada.


Di era marketing 2.0, perusahaan tak bisa menghentikan konsumen membicarakan produknya. Menyakitkan memang, tetapi justru dari sini banyak peluang terbentang.
Jika mau berpartisipasi, strategi ini bisa mudah digunakan. Pesan bisa tersebar layaknya virus, inilah viral marketing yang telah membuat banyak perusahaan melek internet berjaya.


Lari ke internet


Sejak dulu para netter punya tradisi berbagi pengalaman pribadi atau mengulas produk. Ulasan atau komentar positif memang diyakini lebih efektif daripada iklan komersial.


Banyak orang terbantu dengan tulisan atau review orang lain. Membaca komentar orang lain sebelum membeli laptop kini sudah menjadi kebiasaan kita.


Orang-orang juga lari ke internet mencari segala sesuatu, misal terkait kesehatan. Konsumen makin pintar dan punya informasi yang dia peroleh dari membaca ulasan orang lain.
Jika komunikasi dokter bermasalah, ini bisa memicu iklan buruk dan siap-siap saja menuai komentar negatif.


Yakinlah, gugatan terhadap komentar negatif tak akan efektif memadamkan ”bola api liar” di internet.


Lalu, apa solusinya? Tak ada cara lain kecuali dengarkan dan berkomunikasilah. Bagaimana jika tak berhasil? Ingat kata dokter: lipat gandakan dosisnya.