“Services dominate the expanding world economy as never before, and nothing stands still.” Itulah yang dikatakan kedua sahabat saya, almarhum Prof. Christopher Lovelock dan Prof. Jochen Wirtz. Mereka berdua menekankan pentingnya peranan servis dalam dunia bisnis saat ini.
Ya, Servis inilah yang merupakan elemen kedua dari Value Pemasaran untuk memenangkan heart share, selain merek dan proses. Yang dimaksud servis ini bukan sekadar layanan purna-jual (after-sales service), layanan pra-jual (before-sales service), atau layanan saat-jual (during-sales service). Servis juga bukan sekadar bicara soal nomor bebas pulsa bagi pelanggan, soal maintenance, atausoal customer service.
Bagi saya, Servis adalah value enhancer dari sebuah perusahaan. Servis adalah paradigma perusahaan untuk menciptakan sebuah value abadi bagi pelanggan melalui produk (“p” kecil) dan servis (“s” kecil). Jadi, Servis di sini mengacu kepada Servis dengan “S” besar, bukan “s” kecil. Inilah jawaban dari pertanyaan Peter Drucker, sang begawan manajemen, “What business are you really in?”. Satu-satunya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, “We are in Service Business!” Jadi, hanya ada satu kategori bisnis, yaitu Bisnis Servis.
Tidak peduli apakah perusahaan tersebut bergerak di bidang restoran, hotel, atau manufaktur sepatu, satu-satunya kategori untuk seluruh bisnis haruslah hanya Bisnis Servis. Untuk menjadi sebuah Service Company yang sejati, sebuah perusahaan harus secara terus-menerus meningkatkan produk dan servis (dengan “p” dan “s” kecil). Untuk menciptakan value yang abadi dan membangun hubungan baik dengan pelanggan, apa yang ditawarkan oleh perusahaan harus memberikan value yang konstan kepada pelanggan.
Lalu, untuk implementasinya sendiri dalam kegiatan operasional sehari-hari, dikenal apa yang disebut sebagai konsep Service Quality (ServQual). Konsep ini diperkenalkan oleh A. Parasuraman, Leonard L. Berry, dan Valarie A. Zeithaml untuk menganalisis sejauh mana tingkat layanan yang telah diberikan.
ServQual ini terdiri dari lima elemen, yaitu Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, dan Responsiveness yang biasa disingkat RATER. Dalam risetnya, mereka bertiga menemukan bahwa dimensi Reliability dianggap sebagai elemen yang paling penting oleh pelanggan, disusul Responsiveness, Assurance, Empathy, dan Tangible. Jika kelima elemen tersebut terpenuhi, maka pelanggan akan merasa puas. Inilah dasar dari konsep customer satisfaction.
Setelah konsep RATER ini, muncullah apa yang disebut sebagai Experience Economy yang diperkenalkan oleh Joseph Pine dan James Gilmore. Di sini perusahaan bukan sekadar melaksanakan excellent service, namun juga harus mampu memberikan pengalaman (stage experiences). Pada Experience Economy inilah pelanggan harus bisa merasakan sensasi, bukan sekadar merasa puas (customer sensation).
Dan pada tingkat Servis yang terakhir, perusahaan harus bisa melakukan transformasi kepada pelanggannya. Pelanggan dilayani secara personal, satu per satu. Karena itulah, perusahaan harus bisa memberikan solusi bagi pelanggannya, bukan sekadar kepuasan atau sensasi (customer solution). Itulah sedikit tentang servis dalam era Legacy Marketing.
Namun, dalam era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat bukan lagi servis, namun Caring. Bagi saya, servis itu sudah taken for granted, sudah jadi sesuatu yang memang seharusnya ada. Semua perusahaan sudah melakukannya. Semua pelanggan juga sudah mengharapkannya. Bukan sesuatu yang luar biasa lagi.
Caring is beyond service. Caring ini bukan sekadar servis yang mengandalkan RATER atau experience semata. Namun bagaimana pemasar bisa benar-benar memperhatikan pelanggan layaknya manusia. Jadi, kalau untuk servis kita belajar dari hospitality business, maka untuk Caring ini kita belajar dari hospital business. Inilah bedanya. Dalam hospitality industry, kalau kita tidak melakukan servis yang baik, akibat terjeleknya pelanggan akan merasa tidak puas dan mungkin saja menjadi tidak loyal kepada kita. Namun, dalam hospital industry, kalau kita tidak melakukan servis dengan baik, nyawa pasien-lah yang menjadi taruhannya.
Dengan cara pandang seperti ini, New Wave Marketers akan benar-benar memperhatikan pelanggannya dengan sepenuh hati. Tiap-tiap orang akan berupaya menjadi “dokter” dan “perawat” bagi pelanggannya. Dan yang tak kalah penting, perusahaan akan membangun dirinya menjadi sebuah service organisation layaknya sebuah rumah sakit. Dengan menerima Caring, pelanggan bukan hanya akan merasa puas, namun juga bisa menjadi “manusia baru” layaknya seorang pasien yang baru selesai menjalani perawatan.
-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --
Hermawan Kartajaya
No comments:
Post a Comment